1. Pengertian Filsafat
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena
kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep
mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan
percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari
solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi
tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi,
mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Logika merupakan sebuah ilmu yang
sama-sama dipelajari dalam matematika
dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi
tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi,
keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti
perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak
tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan
segala hal.
Secara harfiyah atau etimologi, filsafat
berarti cinta kebijaksanaan dan kebenaran. Istilah ini berasal
dari bahasa Yunani, yang merupakan katan majemuk dari Philia dan Sophia. Menurut Poedjawijatna filsafat berasal dari kata Arab yang erat
hubungannya dengan bahasa Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani, yaitu
philosophia, yang merupakan bentuk kata majemuk dari philo dan sophia.
Philo berarti cinta atau keinginan dan karenanya
berusaha untuk mencapai yang diinginkan itu. Sedangkan sophia berarti kebijakan
(hikmah) atau kepandaian. Jadi filsafat adalah keinginan yang mendalam untuk
mendapatkan kepandaian atau cinta pada kebijakan.[1][1] Harun Nasution juga mengatakan bahwa filsafat berasal
dari bahasa Arab, yaitu falsafa dengan wazan atau timbangan fa’lala,
fa’lalah dan fi’lal. Kalimat isim atau kata benda dari kata falsafa
ini adalah falsafah dan filsaf. Dalam bahasa Indonesia, lanjut
Harun banyak terpakai kata filsafat,
padahal bukan dari kata falsafah (Arab) dan bukan pula dari philosophy
(Inggris), bahkan juga bukan merupakan gabungan dari dua kata fill (mengisi atau menempati) dalam
bahasa Inggris dengan safah (jahil atau tidak berilmu) dalam bahasa Arab
sehingga membentuk istilah filsafat.[2][2] Dalam bahasa Indonesia seseorang
yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
Secara terminologi pengertian
filsafat memang sangat beragam, baik dalam ungkapan maupun titik tekannya.
Menurut Poedjawijatna, filsafat adalah sejenis pengetahuan yang berusaha
mencari sebab yang sedalam-dalamnya tentang segala sesuatu berdasarkan pikiran
belaka. Sementara Hasbullah Bakry, mengatakan bahwa filsafat adalah sejenis
pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan,
alam semesta dan manusia. Plato mendefinisikan filsafat adalah pengetahuan
yang berminat mencapai kebenaran asli (hakiki), dan kata Aristoteles filsafat adalah peengetahuan yang
meliputi kebenaran yang tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika,
ekonomi, politik dan estetika. Selanjutnya, menurut Immanuel Kant filsafat
adalah pengetahuan yang menjadi pokok pangkal segala pengetahuan yang tercakup
di dalamnya empat persoalan, yaitu : (a) apa yang dapat diketahui, jawabannya
adalah metafisika, (b) apa yang seharusnya diketahui, jawabannya adalah etika,
(c) sampai di mana harapan kita, jawabannya adalah agama dan (d) apa itu
manusia, jawabannya adalah antropologi.[3][3]
Barangkali karena rumitnya
mendefinisikan filsafat dan ternyata hasilnya juga relatif sangat beragam, maka
Muhammad Hatta tidak mau terlalu gegabah memberikan definisi filsafat. Menurut
dia sebaiknya filsafat tidak diberikan defenisi terlebih dahulu, biarkan saja
orang mempelajarinya secara serius, nanti dia akan faham dengan sendirinya.
Pendapat Hatta ini mendapat dukungan dari Langeveld. Pendapat ini memang ada
benarnya, sebab inti sari filsafat sesungguhnya terdapat pada pembahasannya.
Akan tetapi – khususnya bagi pemula – sekedar untuk dijadikan patokan awal maka
defenisi itu masih sangat diperlukan.
2. Mengapa Manusia
Berfilsafat
Apabila seseorang bertanya tentang
sesuatu, maka sebenarnya dia sudah berfilsafat, karena bertanya berarti ingin
tahu dan keingintahuan itu merupakan esensi dari filsafat. Akan tetapi
pertanyaan kefilsafatan yang sesungguhnya adalah pertanyaan yang sangat
mendalam dan serius. Pertanyaan kefilsatan memerlukan jawaban yang hakiki, dan
setelah mendapatkan jawaban, apabila meragukan maka jawaban itu akan
dipertanyakan kembali untuk mendapatkan jawaban yang lebih mendalam (hakiki). Jadi
filsafat adalah upaya pemikiran dan penyelidikan secara mendalam atau radikal
(sampai ke akar persoalan). Dengan demikian pertanyaan filsuf tidaklah
sembarangan. Oleh karena itu pertanyaan seperti apa rasa gula tidak akan melahirkan filsafat, sebab hal itu bisa
dijawab dengan mudah oleh lidah atau berapa tahun durian dapat berbuah juga tidak melahirkan filsafat,
karena dapat dijawab oleh sains dengan melalui riset (penelitian).
Contoh pertanyaan kefilsafatan adalah
seperti diutarakan oleh Thales, “apakah bahan alam semesta ini?”.
Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan sembarangan, karena yang
dipertanyakan adalah masalah esensi atau hakikat alam semesta. Jadi perlu
pemikiran dan penyelidikan yang mendalam (radikal).
ü Pancaindera
jelas tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut, sebab pancaindera hanya sekedar
menyaksikan benda alam yang ada secara lahiriyah.
ü Sains juga
tidak sanggup menjawab, karena hanya menyelidiki secara empiris benda yang ada.
ü Tetapi filsafat
mampu mengungkapkan jawaban yang lumayan dapat memuaskan. Seperti jawaban dari
Thales sendiri bahwa bahan alam semesta adalah air, dengan alasan bahwa air itu
dapat berubah menjadi berbagai wujud. Jika air dimasukkan ke dalam ember maka
dia akan membentuk seperti ember, dst. Selain itu air amat dibutuhkan dalam
kehidupan, bahkan bumi ini menurutnya terapung di atas air.
Pertanyaan tersebut pertamakali muncul
pada zaman permulaan (Yunani Kuno), yang dilatarbelakangi oleh keta’juban
(keheranan) terhadap alam semesta. Ketakjuban ini menurut Jan Hendrik Rapar
(2001 : 16) menunjuk kepada dua hal penting, yaitu subyek dan obyek.
Jika ada ketakjuban pasti ada yang takjub (subyek) dan yang menakjubkan
(obyek). Subyek ketakjuban adalah manusia, sebab manusia satu-satunya makhluk
yang memiliki perasaan dan akal budi. Hal ini karena ketakjuban hanya dapat
dirasakan dan dialami oleh makhluk yang berperasaan dan berakal budi. Adapun
obyek ketakjuban adalah segala sesuatu yang ada, baik di alam nyata maupun di alam
metafisik (abstrak)
Selain ketakjuban, yang mendorong
manusia berfilsafat adalah karena adanya aporia (kesangsian, keraguan,
ketidakpastian atau kebingungan). Pertanyaan yang timbul akibat aporia ini
menurut Ahmad Tafsir muncul di zaman modern. Aporia ini berada di antara
percaya dan tidak percaya. Ketika manusia bersikap percaya atau mengambil tidak
percaya, maka pikiran tidak lagi bekerja atas hal itu, akan tetapi jika dia
berada antara percaya dan tidak percaya maka pikiran mulai bergerak dan berjalan
untuk mencari kepastian. Sangsi atau keraguan akan menimbulkan pertanyaan,
pertanyaan membuat pikiran bekerja, dan pikiran bekerja akan melahirkan
filsafat. Jadi sikap keingintahuan atau ingin kepastian terhadap sesuatu dapat
melahirkan filsafat.
Ada juga yang mengatakan bahwa filsafat
dilahirkan atas dasar adanya ketidakpuasan. Sebelum filsafat lahir,
berbagai mitos memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Mitos
tersebut beupaya memberikan penjelasan terhadap manusia tentang asal mula dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam semesta, akan tetapi penjelasan dan
keterangan tersebut makin lama semakin tidak memuaskan manusia. Mitos tersebut
antara lain membawa ajaran bahwa alam semesta beserta fenomina yang ada tidak
mungkin dapat dipikirkan secara ratio, akan tetapi harus diterima secara
intuisi (perasaan dan keimanan). Mereka ketika itu sangat meyakini ajaran agama
(Dewa). Jawaban yang diberikan oleh Thales (mendapat gelar bapak filsafat,
karena dianggap orang yang pertama kali berfilsafat) bahwa bahan baku alam
semesta alam air, jelas tidak diterima oleh dogmatis atau mitos ketika itu.
Dalam hal ini Henri Bergson (penganut intuitisme) mengatakan bahwa akal sangat
terbatas. Akal hanya memapu menjangkau atau memahami suatu obyek apabila mengkonsentrasi-kan
kepada obyek tersebut. Ketika itu maka manusia harus tunduk kepada intuisi.
3. Obyek Kajian Filsafat
Pada dasarnya setiap ilmu memiliki dua
macam obyek, yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek
material adalah segala sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, baik
sesuatu yang bersifat konkret seperti kerbau, sapi, manusia, pohon, batu,
tanah, air dan tanah maupun abstrak seperti nilai-nilai, ide-ide, paham atau
aliran dan sebagainya. Contoh, misalnya tubuh manusia menjadi obyek material
bagi ilmu kedokteran. Sedangkan obyek formal adalah cara pandang tertentu
tentang obyek material tersebut, misalnya pendekatan empiris dan eksperimen
dalam ilmu kedokteran.
Filsafat, sebagai sebuah proses
berpikir yang sistematis dan radikal juga memiliki obyek material dan obyek
formal. Obyek material filsafat adalah segala yang ada, baik yang nampak (dunia
empiris) maupun yang tidak nampak (abstrak, metafisika). Menurut sebagian
filosof obyek material filsafat itu menyangkut tiga hal, yaitu yang ada dalam
kenyataan, yang ada dalam fikiran dan yang ada dalam kemungkinan.[4][4] Obyek material filsafat pada
umumnya sama dengan obyek penelitian sains, bedanya terletak pada dua
pokok, yaitu : Pertama sains menyelidiki obyek material yang empiris, sedangkan
filsafat lebih mengarah kepada yang abstraks. Kedua, ada obyek material
filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari akhir
(obyek materi yang selamanya tidak empiris). Jadi obyek material filsafat lebih
luas ketimbang obyek material sains.[5][5]
Adapun obyek formal filsafat adalah
sifat penyeledikan yang radikal, yakni keingintahuan tentang hakikat kebenaran
sesuatu, dengan cara melakukan penyelidikan secara mendalam sampai ke
akar-akarnya. Dengak kata lain bahwa obyek formal filsafat adalah sudut pandang
yang menyeluruh, radikal dan obyektif tentang sesuatu yang ada untuk dapat
mengetahui hakikat yang sesungguhnya.
4. Metode Kajian
Filsafat
Metode berasal dari bahasa Yunani, methodeuo
yang diambil dari kata methodos, artinya mengikuti jejak, mengusut,
menyelidiki dan meneliti, akar katanya adalah meta (dengan) dan hodos
(jalan). Dalam hubungan dengan kegiatan yang bersifat ilmiah, metode berarti
cara kerja teratur dan sistematis yang digunakan untuk memahami suatu obyek
yang dipermasalahkan, yang merupakan sasaran dari bidang ilmu tertentu. Metode
tidak sekedar menyusun dan menghubungkan bagian-bagian pemikiran yang
terpisah-pisah, melainkan juga merupakan alat paling utama dalam proses dan
perkembangan ilmu pengetahuan sejak dari awal penelitian hingga mencapai
pemahaman baru dan kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.[6][6]
Metode kefilsafatan sangat beraneka ragam, hampir sama
dengan banyaknya jumlah ragam filsafat itu sendiri. Ini berarti bahwa filsafat
tidak mempunyai metode tunggal yang digunakan oleh semua filsuf sejak zaman
purba hingga sekarang. Dengan demikian sangat wajar apabila secara umum setiap
metode dalam filsafat melahirkan teori atau faham tersendiri, seperti emperisme, rasionalisme, relativisme,
idealisme dan lain sebagainya. Sebagai contoh misalnya, dalam Dictionary of Philosophy yang dikutip
oleh Dr. Anton Bakker disebutkan ada sepuluh metode filsafat konkret, yaitu 1) metode
kritis : Socrates dan Plato, 2)
metode intuisi : Platinos dan Bergson, 3)
metode skolastik : Aristoteles, Thomas Aquinas dan filsafar abad
pertengahan, 4) metode matematis : Descartes, 5)
metode empiris : Hobbes, Locke, Barkeley dan Hume, 6) metode transendental :
Imanuel Kant, Neo-Skolastik, 7) metode
dialektis : Hegel dan Karl Marx, 8)
metode fenomenologis : Husserl dan eksistensialisme, 9) metode neo-positivisme dan 10)
metode analitika bahasa: Wittgenstein (Sudarsono, 2001: 86-87).
Dalam makalah sederhana ini hanya akan dijelaskan secara
singkat dua metode sebagai berikut
1.1.
Metode Dialektika (Kritis)
Metode dialektika (bahasa Yunani dari
kata kerja dialegesthai = bercakap-cakap atau dialog) atau dikenal juga
dengan metode kritis ini pertama kali dimunculkan oleh Socrates. Metode ini
bersifat analisis terhadap suatu istilah dan pendapat melalui pertanyaan atau
dialog kesana kemari untuk membanding-bandingkan, kamudian ditemukan suatu
kesimpulan yang hakiki. Dengan metode ini Socrates menemukan logika induksi
dan definisi. Logika induksi adalah pemikiran yang bertolak dari
pengetahuan khusus (contoh kongkret) lalu memberikan kesimpulan yang umum.
Ketika Thales mengatakan bahwa dasar
alam semesta adalah air, kemudian Anaximenes mengatakan udara dan
yang lain menyebutkan terdiri dari empat unsur : tanah, air, udara dan api,
lama kelamaan akhirnya memunculkan berbagai hasil pemikiran yang membingungkan
– terutama di kalangan orang awam. Puncak kebingungan itu terlihat pada tokoh
sofisme terbesar bernama Protagoras melalui konsep atau rumus relativisme.
Menurut dia bahwa ukuran kebenaran adalah manusia dan kebenaran itu
bersifat relatif, tidak ada kebenaran yang mutlak (obyektif atau hakiki).
Ukuran kebenaran adalah menurut pandangan masing-masing manusia, “benar itu
menurutku dan menurutmu”. Pemikiran relativisme ini juga berpengruh pada
keyakinan agama orang Athena waktu itu, sehingga berkembanglah faham bahwa
tidak ada kebenaran yang pasti tentang pengetahuan, tentang etika atau moral,
metafisika, baik dan buruk, termasuk juga kebenaran agama, yang ada hanyalah
kebenaran yang relatif atau subyektifitas. Sebagai akibat selanjutnya adalah
bahwa mereka, terutama para pemuda, menjadi orang bingung yang tidak punya
pegangan : sendi-sendi agama telah digoyahkan sementara dasar-dasar
pengetahuanpun ikut terguncang. Cara berfikir seperti itu pada umumnya jatuh
kepada kaum sofis[7][7], yaitu kelompok orang yang kurang
terpelajar, baik di bidang sains maupun filsafat, namun mereka cukup populer.
Mereka adalah orang-orang yang menjual kebijakan untuk memperoleh materi,
mereka siap menolong para pencari keadilan asalkan mendapat bayaran. Apabila
seorang sofis datang ke Athena, ia disambut dengan hangat oleh murid-murid atau
pengikutnya untuk mendengarkan ceramhnya yang dianggap sebagai sesuatu yang
tidak mungkin salah bahkan dianggap sebagai wahyu. Mereka sudah terlalu fanatik
terhadap ajaran atau hasil pemikiran tentang relativisme ini.
Dalam kondisi seperti itu, muncullah
seorang filsuf baru – yang juga orang Yunani – bernama Socrates yang hidup pada
kira-kira tahun 470 – 399 SM. Dia termasuk orang yang taat beragama dan
memahami dasar-dasar pengetahuan. Dengan menggunakan metode dialektika,
Socrates menemukan dan membuktikan adanya kebenaran yang obyektif yang
merupakan esensi di dalam defenisi. Menurut dia kebenaran relatif memang ada
dan perlu dipegang, akan tetapi kebanaran yang obyektif juga ada dan harus
diyakini. Dalam mencari kebenaran, Socrates menggunakan metode tertentu yang
bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan (dialog,
dialektika), misalnya dia bertanya tentang arete (keutamaan) kepada
tukang besi, negarawan, filsuf, pedagang dan lain sebagainya. Tentu saja mereka
memberikan jawaban yang berbeda tentang ciri keutamaan itu, namun juga ada ciri
yang mereka sepakati. Ciri yang disepakati itulah definisi atau kebenaran
obyektif, sedangkan ciri yang tidak disepakati adalah kebenaran suyektif.
Sebagai contoh misalnya, orang bertanya
“apakah kursi itu ?”. Untuk menjawabnya terlebih dahulu harus mengumpulkan semua
kursi yang ada. Pertama kita menemukan kursi hakim dengan ciri ada tempat duduk
dan ada sandaran, kakinya empat dan terbuat dari kayu jati. Selanjutnya kita
menemukan kursi malas dengan ciri ada tempat duduk dan sandaran, kakinya dua
dan terbuat dari besi antikarat, kemudian kita periksa lagi kursi makan yang
memiliki ciri ada tempat duduk dan sandaran, kakinya tiga dan terbuat dari
rotan, begitu seterusnya. Dari hasil pengamatan atau penyelidikan tersebut kita
mendapatkan ciri-ciri umum dari kursi itu sendiri, yaitu bahwa setiap kursi
memiliki tempat duduk dan sandaran, sedangkan ciri lain tidak terdapat pada
semua kursi. Dengan ciri umum tersebut orang akan sepakat bahwa kursi adalah
tempat duduk yang memiliki sandaran. Nah, inilah kebenaran yang obyektif.
Tentang jumlah kaki, bahan kursi dan lainnya merupakan ciri khusus dari kursi
tertentu yang merupakan kebenaran subyektif atau relatif. Dari ciri umum ini
orang akan sepakat dan mengerti tentang apa itu kursi, sehingga ketika kita
memesan kursi kepada tukang kursi cukup menyebutkan ciri-ciri yang khusus saja,
misalnya kursi dengan kaki empat yang terbuat dari kayu jati, sedangkan
sandaran dan tempat duduknya tidak perlu disebutkan.
Demikian pendapat Socrates bahwa
kebenaran itu ada yang relatif (subyektif) dan ada pula yang obyektif (mutlak).
Teori atau ajaran Socrates ini diperkuat dan dikembangkan oleh salah sorang
teman yang sekaligus muridnya bernama Plato. Hanya saja menurut Plato kebenaran
umum (definisi, obyektif) itu bukan dibuat dengan cara dialog yang induktif
sebagaimana dihasilkan oleh Socrates. Menurut Plato bahwa kebenaran obyektif
itu sudah ada di alam ide.
1.2.
Metode Intuisi
Metode intuisi (suara hati atau
keimanan atau tenaga rohani yang berbeda dengan akal) ini pertama kali
dilontarkan oleh Plotinus. Dengan metode ini plotinus melahirkan teori emanasi,[8][8] yang juga bepengaruh pada
filsafat Islam. Emanasi merupakan sebuah teori yang cukup berani, karena para
filsuf sebelumnya tidak mampu dan takut untuk melontarkan teori ini. Kosmologi
Palotinus memang cukup tinggi terutama dalam hal spekulasi dan imajinasinya,
semenatara itu pandangan mistis merupakan ciri filsafatnya. Tujuan filsafat
Plotinus adalah tercapainya kebersatuan dengan Tuhan yang ditempuh melalui cara
: pertama-tama mengenal alam lewat indera yang kemudian bisa ke tingkat
mengenal Tuhan, lalu menuju jiwa dunia dan terakhir baru menuju jiwa illahi.
Jawaban Thales bahwa bahan alam semesta
adalah air – termasuk jawaban lain yang katanya berasal dari udara, tanah dan
api – dianggap belum memuaskan manusia, karena pertanyaan lebih berbobot
daripada jawabannya. Pada kira-kira 800 tahun kemudina, muncullah Ptlotinus
menyusun jawaban yang lumayan, yaitu yang dikenal dengan teori emanasi. Menurut
Plaotinus alam semesta ini tercipta dari pancaran dan berasal dari Tuhan. Tuhan
dalam pandangannya tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung arti banyak. Yang
banyak (makhluk) ini mengalir lewat proses emanasi, yakni hanya satu yang bisa
keluar dari yang satu (The One). Plotinus kemudian menegaskan bahwa
hanya ada Satu yang wajib ada, sederhana dan absolut.
The One atau Yang Esa tersebut menurut
Plotinus adalah seuatu realitas yang tidak mungkin dpat dipahami melalui metode
sains dan logika, karena ia berada di luar eksistensi dan di luar segala nilai,
sehingga apabila seseorang mencoba untuk mendefinisikanya niscaya akan gagal.
The One atau Yang Esa merupakan puncak segala yang ada, cahaya di atas cahaya
yang tidak mungkin diketahui esensinya, sekalipun oleh orang yang merasa
memiliki pengetahuan ketuhanan cukup tinggi. Seseorang hanya dapat mengetahui
bahwa Ia adalah pokok atau prinsip yang berada di belakang akal dan jiwa. Dia
tidak dapat dideteksi melalui penginderaan dan tidak dapat dipahami lewat pemikiran
logis, tapi hanya dapat dihayati melalui intuisi (hati nurani atau keimanan).
Dari teori emansi itu, Plotinus juga melontarkan ajaran tentang reinkarnasi
yaitu keyakinan akan penyatuan kembali jiwa manusia dengan Tuhan (The One).
Reinkarnasi ini ditentukan oleh perilaku dan tindakan manusia selama hidup di
dunia. Jiwa yang bersih tidak ada lagi kaitannya dengan dunia, dia akan kembali
menyatu dengan Tuhan. Sedangkan jiwa yang kotor harus hidup kembali ke dalam
kehidupan yang lebih rendah seperti kepada orang jahat, hewan atau tumbuhan,
sesuai dengan tindakan kejahatan jiwa itu sendiri.
5. Karasteristik
atau Sifat Dasar Filsafat
5.1.
Berfikir Radikal
Berfilsafat berarti berfikir secara radikal. Para filosuf adalah para
pemikir radikal, sehingga mereka tidak akan pernah terpaku hanya kepada
fenomena suatu identitas atau realitas tertentu saja. Keradikalan berfikir
mereka akan senantiasa mengobarkan hasratnya untuk menemukan akar seluruh
kenyataan. Radik atau akar sebuah realitas memang selalu dianggap penting oleh
mereka karena menemukan akar atau radik tersebut membuat mereka paham akan
sebuah realitas tersebut. Berpikir radikal akan memperjelas realitas lewat
penemuan dan pemahaman akan realitas itu sendiri. Kegiatan berfikir untuk
menemukan hakikat atau akar seluruh sesuatu itu dilakukan secara mendalam
(radikal). Lois O. Kattsoff (1996 : 6) mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan
ialah merenung, tetapi bukanlah melamun dan bukan pula berfikir secara
kebetulan yang bersifat untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam,
radikal, sistematis dan universal.
5.2.
Mencari asas
Dalam memandang seluruh realitas, filsafat senantiasa berupaya mencari asas
(dasar) yang peling hakiki dari keseluruhan realitas tersebut. Para filsuf
Yunani, yang terkenal dengan filsuf alam menagamati keanekaragaman realitas di
alam semesta ini, lalu bertanya “apakah di balik realitas alam yang beraneka
ragam ini ada suatu asas atau dasar ?”. Mereka mulai mencari jawaban yang
hakiki tentang itu semua. Thales menemukan asas alam semesta ini adalah air,
Aneximenes menemukan bahwa asasnya adalah udara, dan Empedokles mengatakan ada
empat unsur yang membentuk realitas alam ini, yaitu api, udara, tanah dan air.
5.3.
Memburu Kebenaran
Berfilsafat berarti memburu kebenaran hakiki tentang
sesuatu. Filsuf adalah pemburu kebenaran. Kebenaran yang diburunya adalah
kebenaran hakiki dan tidak meragukan. Untuk memperoleh kebenaran yang
sungguh-sungguh atau hakiki dan dapat dipertanggung jawabkan, maka setiap
kebenaran yang telah diraih harus senantiasa terbuka. Kebenaran tentang sesuatu
yang sudah ditemukan oleh seorang filsuf akan selalu diteliti ulang oleh yang
lain demi mencari kebenaran yang lebi hakiki dan dapat dipertanggungjawabkan.
CABANG ATAU PEMBAGIAN FILSAFAT
Pada tahap awal kelahiran filsafat
sesungguhnya mencakup seluruh ilmu pengetahuan, kamudian berkembang sedemikian
rupa menjadi semakin rasional dan sistematis. Seiring dengan perkembangan itu,
wilayah pengetahuan manusia semakin luas dan bertambah banyak, tetapi juga
semakin mengkhusus atau spesifik. Lalu lahirlah berbagai disiplin ilmu
pengetahuan yang satu persatu mulai memisahkan diri dari filsafat. Namun
kendati pun demikian, tidak berarti filsafat telah menjadi begitu miskin
sehingga tinggal terarah hanya kepada satu permasalahan pokok, dengan wilayah
pengetahuan yang semakin sempit dan pada suatu saat akan lenyap sama sekali.
Kenyataannya, masalah-masalah pokok yang dihadapi filsafat tak pernah
berkurang. Karena banyaknya masalah pokok yang harus dibahas dan dipecahkan,
filsafat pun dibagi ke dalam bidang-bidang studi atau beberapa cabang. (Jan
Hendrik Rapar, 2001 : 34)
Aristoteles membagi filsafat kepada
tiga bidang studi, yaitu :
1) Filsafat spekulatif atau teoretis, yakni suatu cabang filsafat yang bersifat obyektif.
Termasuk di dalamnya adalah fisika metafisika, biopsikologi dan sebagainya.
Tujuan utama filsafat ini adalah pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri.
2) Filsafat Praktis, yakni filsafat yang memberi petunjuk
dan pedoman bagi tingkah laku manusia yang baik dan sebagaimana mestinya,
termasuk di dalamnya adalah etika dan politik. Sasaran terpenting bagi filsafat
praktis ini adalah membentuk sikap dan perilaku yang akan memampukan manusia
untuk bertindak dalam terang pengetahuan itu
3) Filsafat Produktif, yaitu pengetahuan atau filsafat yang
membimbing dan menuntun manusia menjadi produktif lewat suatu keterampilan
khusus, termasuk di dalamnya adalah kritik sastra, retorika dan estetika.
Adapun sasaran utama yang hendak dicapai lewat filsafat ini adalah agar manusia
sanggup menghasilkan sesuatu, baik secara teknis maupun secara puitis dalam
terang pengetahuan yang benar.
Sementara Will Durant membagi studi
filsafat kepada 5 cabang, yaitu :
1) Logika, yakni studi tentang metode berfikir dan metode
penelitian ideal, yang terdiri dari observasi, introspeksi, deduksi dn induksi,
hipotesis dan eksperimen serta analisis dan sintesis.
2) Estetika atau disebut juga filsafat seni (philosophy of art), yakni filsafat yang membahas tentang bentuk
ideal dan keindahan.
3) Etika, yaitu filsafat tentang studi perilaku ideal.
4) Politika, yaitu studi tentang organisasi sosial
yang ideal, yakni tentang monarki, aristokrasi, demokrasi sosialisme, anarkisme
dan sebagainya.
5) Metafisika. Metafisika ini terdiri dari ontologi,
filsafat psikologi dan epitemologi.
Para penulis ENSIE (Earste Nederlandse Systematich Ingerichete
Ensyclopaedie) membagi filsafat kepada sepuluh cabang, yaitu : metafisika,
logika, epistemologi, filsafat ilmu, filsafat naturalis, filsafat kultural,
filsafat sejarah, estetika, etika dan filsafat manusia. Sedangkan The World University Ensyclopedia
membagi filsafat kepada: filsafat sejarah, metafisika, epistemologi, logika,
etika dan estetika. Sementara Christian Wolff (1679-1754) membaginya kepada
cabang-cabang : logika, ontologi, kosmologi, psikologi, teologi naturalis dan
etika.
Masih banyak lagi pembagian filsafat
yang dikemukakan oleh para filsuf, namun pada umumnya sekarang dibagi kepada
enam cabang utama, yaitu : epistemologi,
metafisika (meliputi ontologi, kosmologi, teologi metafisik dan
antropologi), logika, etika, estetika
dan filsafat tentang berbagai disiplin
ilmu.
1. Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang filsafat
yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan. Istilah epistemologi berasal
dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu episteme bisa diartikan sebagai pengetahuan atau kebenaran dan logos = kata, pikiran, teori atau ilmu.
Dengan demikian epistemologi berarti teori atau filsafat tentang pengetahuan.
Istilah ini dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan “theory of knowledge” (teori pengetahaun). Epistemologi adalah
bidang studi filsafat yang mempersoalkan hal-ihwal pengetahuan yang meliputi
antara lain bagaimana memperoleh pengetahuan, sifat hakikat pengetahuan dan
kebenaran pengetahuan. Dari persoalan-persoalan yang dikemukakan oleh
epistemologi itu terkandung nilai, yaitu berupa jalan atau metode penyelidikan
ke arah tercapainya pengetahuan yang benar[9][9]. Dengan kata lain bahwa secara
umum, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat
ilmu. Ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan metodik
untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek. Dalam rumusan
yang lebih rinci disebutkan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang
filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula
pengetahuan, struktur, metode dan validasi pengetahuan. Jadi, pernyataan
mengenai apakah obyek kajian ilmu itu dan seberapa jauh tingkat kebenaran yang
bisa dicapainya serta kebenaran obyektif, subyektif absolut dan relatif
merupakan lingkup dan medan kajian epistemologi.
Secara tradisional, yang menjadi pokok
persoalan epistemologi adalah : sumber, asal mula dan sifat dasar pengetahuan;
bidang, batas dan jangkauan pengetahuan; serta validasi dan rehabilitas dari
berbagai klaim terhadap pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang
biasa diajukan untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan di dalam
epistemologi adalah : apakah pengetahuan itu?, apakah yang menjadi sumber dan
dasar pengetahuan?, apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman
atau akal budi?, dan apakah pengetahuan itu kebenaran yang pasti atau hanya
merupakan dugaan?
1.1. Tentang
Pengetahaun
Jika dikatakan seseorang mengetahui
sesuatu, berarti dia telah memiliki pengetahuan
tentang sesuatu itu. Dengan demikian pengatahuan adalah suatu kata yang
digunakan untuk menunjuk kepada apa yang diketahui oleh seseorang. Pengetahuan
senantiasa memiliki subyek, yakni
yang mengetahui dan obyek, yakni
sesuatu yang diketahui. Dan pengetahuan juga bertautan erat dengan kebenaran,
karena demi mencapai kebenaranlah maka pengetahuan itu eksis. Kebenaran adalah
kesesuaian antara pengetahuan dengan obyeknya. Ketidaksesuaian pengetahuan
dengan obyeknya disebut kekeliruan. Suatu obyek yang ingin diketahui senantiasa
memiliki begitu banyak aspek yang amat sulit diungkapkan secara serentak.
Kenyataannya, manusia hanya mengetahui beberapa aspek dari suatu obyek itu,
sedangkan yang lainnya tetap tersembunyi baginya. Dengan demikian jelas bahwa
amat sulit untuk mencpai kebenaran yang lengkap dari obyek tertentu, apalagi
mencapai seluruh kebenaran dari segala sesuatu yang dapat dijadikan obyek
pengetahuan.
Menurut Jan Hendrik Rapar (1996:38)
bahwa pengetahuan itu dapat dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu : 1) Pengetahuan biasa (ordinary knowledge). Ini terdiri dari
“nir-ilmiah” dan “pra-ilmiah”. Pengetahuan nir-ilmiah adalah hasil penyerapan
dengan indera terhadap obyek tertentu yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari
dan termasuk pula pengetahuan intuituf. Pengetahuan pra-ilmiah merupakan hasil
penyerapan inderawi dan pengetahuan yang merupakan hasil pemikiran rasional
yang tersedia untuk diuji lebih lanjut kebenarannya dengan menggunakan
metode-metode ilmiah. 2) pengetahuan
ilmiah (scientific knowledge),
pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih
menjamin kepastian kebenaran yang dicapai. Inilah pengetahuan yang sering
disebut sains (science). 3. pengetahuan filsafat (philosophical knowledge), yang diperoleh
lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi,
penilaian kritis serta pemikiran-pemikiran yang logis, analitis dan sistematis.
Pengetahuan filsafat ini berkaitan dengan hakikat, prinsip dan asas seluruh
realitas yang dipersoalkan selaku obyek yang hendak dicapai atau diketahui.
1.2. Perbedaan Pengetahaun dengan Ilmu
Dari seperangkat pengertian yang ada, pengetahaun dengan
ilmu sering dikacaubalaukan. Keduanya sering dianggap mempunyai persamaan
makna, bahkan telah dirangkum menjadi sebuah kata majemuk yang mengandung arti tersendiri.
Padahal apabila kedua kata itu berdiri sendiri, maka perbedaannya akan nampak
dengan jelas. Kata pengetahuan
diambil dari bahasa Inggris knowledge,
sedangkan ilmu berasal dari bahasa
Arab ilm (عـلـم)
atau kata Inggis science. Makna
semacam ini nampak lebih baik daripada mencampuradukkan dua kata tersebut.
Dengan memisahkan kedua kata ini, maka akan diperoleh pengertian dan
perbedaannya masing-masing.
Pengetahaun dapat diartikan sebagai hasil tahu manusia
terhadap sesuatu atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu obyek yang
dihadapi atau obyek tertentu. Pengetahuan dapat berwujud benda-benda fisik,
pemahamannya dilakukan dengan cara persepsi baik lewat indera maupun lewat
akal. Dapat pula obyek yang dipahami itu berbentuk ideal atau yang bersangkutan
dengan masalah kejiwaan yang cara memahaminya dengan komprehensi, bahkan dapat
berwujud subsistensi yang dipahami lewat persepsi. Apabila obyeknya berupa
nilai (value), pemahamannya lewat persepsi pula. Franz Rosenthal mengemukakan
bahwa ada lebih dari seratus definis pengetahaun, antara lain : (a) pengetahaun
yang menyangkut proses mengetahui, (b) pengetahuan yang menyangkut tentang
pengamatan, (c) pengetahaun yang menyangkut proses yang diperoleh melalui
persepsi mental dan (d) pengetahuan yang menyangkut kepercayaan.[10][10]
Pengertian ilmu sebagaimana dikemukakan oleh The Liang
Gie adalah suatu bentuk aktivitas manusia yang dengan melakukannya manusia
memperoleh suatu pengetahuan dan pemahaman yang senantiasa lebih lengkap dan
cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu
kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah
lingkungan serta mengubah sifat-sifatnya sendiri. Sementara Charles Singer
mengatakan “Ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan”. Jujun S.
Suriasumantri dalam bukunya Ilmu Dalam
Perspektif menulis “ilmu lebih bersifat merupakan kegiatan daripada sekedar
produk yang siap dikonsumsikan”.
Perbedaan antara ilmu dan pengetahuan dapat ditelusuri
dengan melihat perbedaan ciri-cirinya. Menurut Herbert L. Searles ciri-ciri
tersebut sebagai berikut : “Kalau ilmu berbeda dengan filsafat berdasarkan ciri
empiris, maka ilmu berbeda dari pengetahuan biasa karena ciri sistematisnya”.
Mohammad Hatta (mantan Wakil Presiden RI pertama) membedakan ilmu dengan
pengetahuan sebagai berikut : “Pengetahuan yang didapat dari pengalaman disebut
pengetahuan pengalaman, atau
ringkasnya pengetahuan. Pengetahuan
yang didapat dengan jalan keterangan disebut ilmu. Bahwasanya pengetahuan saja bukanlah ilmu, dapat kita
persaksikan pada binatang yang juga mempunyai pengetahuan, misalnya anjing.
Dari gerak tangan tuannya atau dari keras atau lembutnya suara tuannya itu, ia
tahu apa yang dimaksud tuannya terhadap dia. Tiap-tiap ilmu mesti bersendi
kepada pengetahuan. Pengetahuan adalah tangga yang pertama bagi ilmu untuk
mencari keterangan lebih lanjut”.
Jadi pada dasarnya perbedaan antara ilmu dengan
pengetahuan adalah terletak pada sifat sistematik dan cara memperolehnya.
Perbedaan tersebut menyangkut pengetahuan yang pra-ilmiah atau pengetahuan
biasa, sedangkan pengetahuan ilmiah dengan ilmu tidak mempunyai perbedaan yang
berarti. Dalam perkembangan selanjutnya di Indonesia, pengetahuan disamakan
artinya dengan ilmu, karena kata ilmu yang berasal dari bahasa Arab berarti
pengetahuan. Nawawi Dusky menulis dalam Buletin
Dakwah : “ilmu yang berasal dari bahasa Arab ini artinya adalah
pengetahaun”. Dengan demikian bahwa secara bahasa pengetahuan dengan ilmu
bersinomin arti, sedangkan dalam arti material keduanya mempunyai perbedaan.
Sementara itu menurut disiplinya, ilmu pengetahuan dapat digolongakan menjadi
tiga, yaitu : ilmu deduktif
(ilmu-ilmu formal), ilmu induktif
(ilmu-ilmu empiris) dan ilmu reduktif
(sejarah dan lain-lain) [11][11]
1.3. Sumber Pengetahuan
Proses terjadinya pengetahuan menjadi
masalah mendasar dalam epistemologi, sebab hal ini akan mewarnai pemikiran
kefilsafatan. Pandangan yang sederhana dalam memikirkan proses terjadinya
pengetahuan, yaitu dalam sifatnya baik yang apriori
maupun aporteriori. Pengetahuan
apriori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman,
baik pengalaman indera maupun pengalaman bathin. Sedangkan pengetahuan
aporteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Dalam
mengetahui sesuatu diperlukan alat-alat, seperti pengalaman indera (sense experience), nalar (reason), otoritas (othority), intuisi (intuition),
wahyu (revelation) dan keyakinan (faith). [12][12]
Apakah sebenarnya yang menjadi sumber
pengetahuan ?. Dalam hal ini para filsuf memberi jawaban yang berbeda. Plato,
Descartes, Baruch Spinoza dan Leibniz mengatakan bahwa sumber pengetahuan
adalah akal budi (ratio), bahkan ada yang secara ekstrim mengemukakan bahwa
akal budi adalah satu-satunya sumber dari pengetahuan. Para filsuf yang
mendewakan akal budi itu berpendapat bahwa setiap keyakinan atau pandangan yang
bertentangan dengan akal budi tidak mungkin benar. Bagi mereka pikiran memiliki
fungsi sangat penting dalam proses mengetahui.
Pengetahuan didapat dari pengamatan.
Dalam pengamatan inderawi tidak dapat ditetapkan apa yang subyektif dan apa
yang obyektif. Jika kesan-kesan subyektif dianggap sebagai kebenaran maka hal
itu mengakibatkan adanya gambaran-gambaran yang kacau di dalam imajinasi.
Segala pengetahuan dimulai dengan gambaran-gambaran inderawi, kemudian
ditingkatkan hingga sampai kepada yang lebih tinggi, yaitu pengetahuan rasional
dan pengetahuan intuitif. Dalam pengetahun rasional orang hanya mengambil
kesimpulan-kesimpulan, sedang dalam intuisi orang memandang kepada ide-ide yang
berkaitan dengan Tuhan. Demikian pendapat Baruch Spinoza. Hal ini berbeda
dengan pendapat Thomas Hobbes (1588-1679), salah seorang tokoh emperisme, yang
mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh karena pengalaman. Menurutnya pengalaman
adalah awal segala pengetahuan, segala ilmu pengetahuan diturunkan dari
pengalaman dan hanya pengalamanlah yang memberi jaminan akan kepastian. Yang
disebut pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang
disimpan dalam ingatan dan digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa
depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lampau. Pengalaman
inderawi terjadi karena gerak benda-benda diluar kita menyebabkan adanya suatu
gerak di dalam indera kita. Gerak itu diteruskan kepada otak, dari otak
dilanjutkan ke jantung. Di dalam jantung timbul suatu reaksi, suatu gerak dalam
jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak
reaksi tadi.
Beberapa filsuf yang lain seperti
Bacon, Thomas Hobbes dan John Locke mengatakan bahwa sumber pengetahaun adalah
pengalaman inderawi, bukan akal budi atau ratio. Pada dasarnya menurut mereka,
pengetahuan bergantung pada pancaindera manusia dan pengalaman-pengalaman
inderanya, bukan pada rasio. Mereka juga mengklaim bahwa seluruh ide dan konsep
manusia sesungguhnya berasal dari pengalaman. Tidak ada ide atau konsep yang di
dalam dirinya sendiri bersifat apriori,
tetapi sesungguhnya aposteriori.
John Locke, misalnya, mengatakan bahwa
seluruh ide manusia berasal secara langsung dari sensasi dan lewat refleksi
terhdap ide-ide sensitif itu sendiri. Tidak ada suatu apapun juga dalam akal
budi manusia yang tidak berasal dari pengalaman inderawi. Dengan kata lain
bahwa segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal
(ratio) menurutnya bersifat pasif
pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari
dirinya sendiri. Semua akal serupa dengan secarik kertas yang tanpa tulisan,
yang menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Dia tidak membedakan
antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan akali, satu-satunya sasaran obyek
pengetahuan adalah gagasan atau ide-ide, yang timbulnya karena pengalaman
lahiriyah (sensation) dan bathiniyah
(reflection).
1.4. Adakah
Pengetahuan yang Benar dan Pasti
Louis O. Kattsoff dalam teori
korespondensinya menyatakan bentuk kebenaran sebagai berikut “bahwa sutu
pendapat itu benar jika arti yang dikandungnya sungguh-sungguh merupakan
halnya, dinamakan teori koresponden. Kebenaran atau keadaan dasar itu berupa
kesesuaian (koresponden) antara arti yang dimaksudkan oleh suatu pendapat
dengan apa yang sungguh-sungguh halnya atau apa yang merupakan fakta-faktanya”.
Teori kebenaran yang lain dikemukakan oleh Harold H. Titus sebagaimana dikutip
oleh H. Endang Saifuddin Anshari sebagai berikut : “Kebenaran adalah sesuatu
yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi aktual.
Kebenaran ialah kesesuaian (agreement)
antara pernyataan (statement)
mengenai fakta dengan fakta aktual; atau antara putusan (judgement) dengan situasi seputar yang diberikan interpretasi”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebenaran dalam
pengetahaun adalah kesesuaian antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang
diketahuinya. Contoh : Amir dibangunkan oleh Ali sambil berteriak bahwa ada
kebakaran, Amir pun segera bangun dan percaya bahwa ada kebakaran. Ini
dikatakan benar jika betul terjadi kebakaran, tapi dikatakan salah jika
(kenyataannya) tidak terjadi kebakaran (Miska Muhammad Amien, 1983 : 7-8)
Para penganut skeptisisme pada umumnya
sependapat bahwa segala sesuatu, termasuk yang sudah pasti, dapat saja
disangsikan kebenarannya. Untuk membenarkan diri, secara ekstrim mereka
berpegang pada ungkapan Socrates yang mengatakan “apa yang saya ketahui adalah bahwa saya tidak mengetahui apa-apa”.
Dengan demikian, mereka hendak menegaskan bahwa sesungguhnya tidak ada
pengetahuan yang pasti dan mutlak. Pyrrho (365-275 SM), yang dikenal sebagai
pencipta skeptisisme sistematis pertama, mengatakan bahwa kita harus senantiasa
menyangsikan segala sesuatu yang dianggap benar karena sesungguhnya tidak ada
yang benar-benar dapat diketahui dengan pasti. Ada banyak pandangan yang sering
kali saling bertentangan, tetapi tidak pernah dapat ditentukan yang mana benar
dan yang mana salah karena tidak ada kriteria yang dapat digunakan untuk itu
(Jan Hendrik Rapar, 1996 : 40-42).
John Wilkins (1614-1672) dan Joseph
Glanvill (1626-1680) membedakan antara pengetahuan tertentu yang sempurna dan
pengetahuan tertentu yang sudah pasti. Mereka berpendapat bahwa tidak seorang
pun manusia dapat meraih pengetahuan yang sempurna karena kemampuan manusia
telah cacat dan rusak. Adapun pengetahuan tertentu yang telah pasti, misalnya
matahari terbit dari timur setiap hari, api menghanguskan, terkena air basah
dan sebagainya merupakan pengetahuan yang pasti dan tidak perlu diragukan lagi.
David Hume (1711-1776) menyerang
dasar-dasar pengetahuan empiris. Menurutnya tidak ada suatu generalisasi
pengalaman yang dapat dibenarkan secara rasional. Demikian pula proposisi
mengenai pengalaman tidak perlu, karena seseorang dengan mudah akan dapat
membayangkan suatu dunia di mana proposisi itu keliru. Sebagai contoh,
“matahari akan terbit besok pagi” adalah sebuah generalisasi dari pengalaman
atau realitas. Akan tetapi hal itu sebenarnya tidak perlu karena kita dapat
membayangkan suatu dunia yang mirip dunia kita yang mataharinya tidak terbit
besok pagi. Baginya generalisasi induktif sama sekali bukan suatu proses
berfikir, tetapi sekedar mengharap bahwa hal yang sama akan berulang kembali
dalam kondisi dan situasi yang sama.
Pandangan para filsuf yang menyangsikan
segala sesuatu, termasuk yang sudah dianggap pasti kebenaranya, sejak semula
telah disanggah oleh pemikir lainnya. Misalnya Augustinus (354-430) mengatakan
bahwa ungkapan “manusia tidak dapat
mengetahui apa-apa” menunjukkan bahwa hal itu sebenarnya sudah merupakan
pengetahuan. Oleh sebab itu, bagi Augustinus, pendapat filsuf yang demikian,
secara rasional tidak konsisten, ungkapan tersebut adalah keliru dan salah,
berarti tidak ada masalah. Jika memang benar, berarti ungkapan itu mengandung
pertentangan dalam dirinya sendiri, karena bagaimanapun juga kita telah mengetahui dengan pasti tentang satu hal,
yakni kita tahu bahwa kita tidak dapat mengetahui apa-apa.
Sedangkan Thomas Reid (1710-1796)
menyanggah presuposisi sentral David Hume yang mengatakan bahwa kepercayaan
kita yang sangat mendasar haruslah dibenarkan oleh argument-argument
rasional-filsafat. Thomas Reid mengatakan bahwa bukti-bukti rasional-filsafat
yang dikehendaki Hume itu sesungguhnya tidak pantas dan tidak tepat. Menurutnya
kepercayaan yang sangat mendasar itu tidaklah dilandaskan pada pra anggapan
yang membuta begitu saja, melainkan justru mencerminkan konstitusi rasional
kita yang sanggup pula mengenal lewat intuisi.
2. Metafisika
Istilah metafisika juga berasal dari
bahasa Yunani, yang terdiri dari kata meta
dan physika. Meta berarti sesudah,
selain atau sebaliknya dan physika berarti nyata atau alam. Jadi metafisika
dapat diartikan dibalik alam semesta atau selain yang nyata. Ditinjau dari segi
filsafat secara menyeluruh, metafika adalah ilmu yang memikirkan atau membahas
hakikat sesuatu di balik alam nyata. Metafisika biasanya dibagi kepada : metafisika umum atau ontologi dan metafisika khusus yang terdiri dari kosmologi, teologi metafisik
dan filsafat antroplogi (Jan Hendrik Rapar, 1996:44)
2.1. Metafisika Umum
atau Ontologi
Metafisika umum atau ontologi ini membahas segala sesuatu
yang ada secara menyeluruh dan sekaligus. Pembahasan itu dilakukan dengan
membedakan dan memisahkan eksistensi yang sesungguhnya dari penampakkan atau
penampilan eksistensi itu. Pertanyaan-pertanyaan ontologis yang utama dan
sering diajukan adalah “apakah realitas atau ada yang begitu beraneka ragam dan
berbeda-beda itu pada hakikatnya satu atau tidak ?”, kalau memang satu, “apakah
gerangan yang satu itu ?” dan “apakah eksistensi yang sesungguhnya dari segala
sesuatu yang ada itu merupakan realitas yang nampak atau tidak ?”. Dalam hal
ini ada tiga teori ontologi yang
terkenal, yaitu :
a). Idealisme. Teori
ini mengajarkan bahwa eksistensi atau ada yang sesungguhnya berada di dunia
ide. Segala sesuatu yang nampak dan mewujud dalam alam inderawi hanya merupakan
gambaran atau bayangan dari yang sesungguhnya yang berada di alam ide. Dengan
kata lain bahwa realitas yang sesungguhnya bukanlah yang kelihatan, melainkan
yang tidak nampak. Tokoh idealisme subyektif, George Berkeley (1685-1753) mengatakan
bahwa satu-satunya realitas yang sesungguhnya adalah aku subyektif yang
spritual. Baginya tidak ada substansi material dan sebagainya, seperti kursi
dan meja, karena semua itu hanya merupakan koleksi ide yang ada dalam alam
pikiran sejauh yang dapat diserap. G. Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831)
menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada adalah satu bentuk dari satu pikiran.
b). Materialisme.
Bagi materialisme ada atau esksitensi yang sesungguhnya adalah sesuatu yang
bersifat material. Artinya realitas yang sesungguhnya adalah kebendaan. Karena
itu seluruh realitas hanya mungkin dijelaskan secara materialistis. Leukippos
dan Demokritos mengatakan bahwa seluruh realitas bukan hanya satu, tetapi
terdiri dari banyak unsur, dan unsur-unsur itu tidak terbagi lagi atau disebut atom (tidak dapat dibagi). Atom itu
merupakan bagian materi sangat kecil yang tidak berkualitas dan senantiasa
bergerak karena adanya ruang kosong. Jiwa manusia pun terdiri dari atom-atom.
Sementara Thomas Hobbes (1588-1679) berpendapat bahwa seluruh realitas adalah
materi yang tidak bergantung pada gagasan dan pikiran. Setiap kejadian adalah
gerak yang terjadi oleh keharusan, maka seluruh realitas yang tidak lain dari
materi itu senantiasa berada di dalam gerak. Sedangkan Ludwig Andreas Feuerbach
(1804-1872) mengemukakan bahwa materi haruslah menjadi titik pangkal dari
segala sesuatu. Baginya, alam materi adalah realitas yang sesungguhnya. Adapun
karena manusia adalah bagian dari alam material itu, maka manusia adalah satu
realitas yang konkret. Agama dan Tuhan, lanjut dia, hanyalah impian manusia
yang begitu egoistis demi meraih kebahagiaan bagi dirinya sendiri.
c). Dualime. Ini
mengajarkan bahwa substansi individual terdiri dari dua tipe fundamental yang
berbeda dan tak dapat direksusikan kepada yang lainnya, yaitu material dan mental. Dengan demikian, dualisme mengakui bahwa realitas terdiri
dari materi (yang ada secara fisik dan mental (yang ada tidak kelihatan secara
fisik). Dualisme harus dibedakan dari monisme dan pluralisme. Monisme dan
pluralisme adalah teori tentang jumlah substansi dan bukan mempersoalkan tipe
fundamental dan substansi itu. Memang ada filsafat pluralistis yang bersifat
dualisme, misalnya Cartesianisme, tetapi ada pula yang tidak.
Ontologi adalah filsafat umum yang juga
sering disebut metafisika umum.
Ontologi dapat dipahami sebagai “pohon” filsafat atau filsafat itu sendiri.
Sebagai pohon filsafat, maka ontologi atau metafisika umum ini mempersoalkan
apa yang ada di balik “yang ada”
(hakikat yang ada), yaitu meliputi pertanyaan tantang hakikat Tuhan sebagai
Sang Pencipta alam beserta isinya.
Cakupan ilmu pengetahuan pada dasarnya
adalah ilmu tentang manusia dan masyarakat, ilmu alam dan ilmu ketuhanan. Oleh
karena itu, filsafat dan ilmu pengetahuan mempunyai obyek yang sama yaitu
sama-sama menyelidiki manusia, alam dan Tuhan, hanya saja perbedaannya terletak
pada kualitas sasaran yang dituju. Kualitas sasaran filsafat bersifat metafisik
(hakikat) secara utuh dan menyeluruh, sedangkan kualitas ilmu pengetahuan hanya
menyelidiki jenis, bentuk, sifat dan susunan fisik menurut bagian-bagian
tertentu secara terpisah.
Tokoh yang membuat istilah ontologi
populer adalah Christian Wolff (1679-1714). Istilah ontologi berasal dari
bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti
“yang ada” dan logi berarti “ilmu
pengetahua atau ajran”. Dengan demikian ontologi
adalah ilmu pengetahaun atau ajaran tentang yang ada. Dalam ontologi ini
terdapat beberapa aliran yang penting, yaitu antara lain : 1) dualisme, yang
memandang alam ini terdiri dari dua macam hakikat sebagai sumbernya, 2) monisme
(materialisme) yang memandang bahwa
sumber yang asal itu hanya tunggal, 3)
idealisme yang memandang segala sesuatu serba-cita atau serba roh, dan 4) aguosticisme yang mengingkari
kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat seperti yang dikehendaki oleh ilmu
metafisik. (Sudarsono, 2001 : 118)
2.2. Metafisika
Khusus
2.2.1 Kosmologi
Kosmologi berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata kosmos dan logos. Kosmos berarti dunia, alam
atau ketertiban (lawan dari chaos
= kacau balau) dan logos berarti kata atau ilmu. Jadi kosmologi berarti
pembicaraan atau ilmu tentang alam semesta dan ketertiban yang paling
fundamental dari seluruh realitas. Kosmologi memandang alam semesta sebagai
suatu totalitas dari fenomena dan berupaya untuk memadukan spekulasi metafisika
dengan evidensi ilmiah di dalam suatu kerangka yang koheran. Hal-hal yang biasa
disoroti dan dipersoalkan adalah mengenai ruang dan waktu, perubahan,
kebutuhan, kemungkinan-kemungkinan dan keabadian. Metode yang digunakan
bersifat rasional dan justru hal itulah yang membedakannya dari berbagai kisah
asal mula struktur alam.
2.2.2 Teologi Metafisik
Teologi metafisik mempersoalkan eksistensi Tuhan, yang
dibahas secara terlepas dari keprcayaan agama. Eksistensi Tuhan hendak dipahami
secara rasional. Konsekwensinya, Tuhan menjadi sistem filsafat yang perlu
dianalisis dan dipecahkan lewat metode ilmiah. Apabila Tuhan dilepaskan dari
kepercayaan agama, maka hasil analisis dan pembahasan yang diperoleh bisa
berupa satu dari beberapa kemungkinan sebagai berikut : (a). Tuhan tidak ada.
(b). Tidak dapat dipastikan apakah Tuhan ada atau tidak. (c). Tuhan ada tanpa
dapat dibuktikan secara rasional. (d). Tuhan ada, dengan bukti rasional
Para filsuf terkenal seperti Anselmus, Descartes, Thomas
Aquinas dan Immanuel Kant telah mebuktikan bahwa Tuhan itu benar-benar ada.
Bukti-bukti rasional yang diutarakan adalah :
·
Argumen Ontologis. Semua manusia
memiliki ide tentang Tuhan. Sementara itu, diketahui pula bahwa kenyataan atau realitas senantiasa lebih sempurna daripada ide. Dengan demikian,
Tuhan pasti ada dan realitas adaNya
pasti lebih sempurna daripada ide manusia tentang Tuhan.
·
Argumen Kosmologi. Setiap akibat
pasti ada sebab. Dunia (kosmos) adalah akibat, karena itu pasti memiliki sebab
di luar dirinya sendiri. Penyebab adanya dunia itulah Tuhan.
·
Argumen Teleologis. Segala
sesuatu ada tujuannya. Sebagai contoh, mata untuk melihat, telinga untuk
mendengar dan kaki untuk berjalan. Karena segala sesuatu memiliki tujuan, itu
berarti seluruh realitas tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan dijadikan
oleh yang mengatur tujuan itu. Pengatur tujuan itu adalah Tuhan.
·
Argumen Moral. Manusia
bermoral karena dapat membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang
salah, dan seterusnya. Itu menunjukkan bahwa ada dasar dan sumber moralitas.
Dasar dan sumber moralitas itu adalah Tuhan.
Skeptisisme secara umum meragukan segala keyakinan yang
telah digenggam selama ini. Menurut aliran ini sesungguhnya tak dapat
dipastikan apakah Tuhan itu benar-benar ada atau tidak mungkin saja ada tapi
mungkin juga tidak ada. Skepteisisme merupakan pintu yang terbuka lebar ke arah
ateisme (dalam arti teoritis), yaitu suatu paham yang berupaya
mempertanggungjawabkan secara falsafati keyakinan bahwa Tuhan tidak ada. Karena
itu, David Hume menegaskan bahwa tidak ada bukti yang benar-benar shahih
tentang adanya Tuhan dan bahwa Dia menyelenggarakan dunia ini. Hume menolak
eksistensi Tuhan dan kebenaran agama, bahkan menolak gagasan tentang Tuhan
serta menganggap bahwa moralitas semata-mata hanya perasaan manusia belaka.
Terhadap perasaan sendiri, akal sehat tidak memiliki wewenang untuk
mengendalikan atau mengawasinya.
Sigmund Freud (1856-1939) menyatakan bahwa Tuhan memiliki
tiga fungsi utama bagi kehidupan praktis manusia di dunia, yaitu :
·
Tuhan dianggap
penguasa alam. Oleh karena itu dengan menyembahNya, manusia akan dapat
mengatasi kecemasannya terhadap alam yang begitu dahsyat.
· Keyakinan agama
memperdamaikan manusia dengan nasibnya yang mengerikan, terutama setelah
kematian
· Tuhan
memelihara dan menjaga agar ketentuan dan peraturan kultur akan
dilaksanakan.
Kehidupan moral merupakan tempat bagi Tuhan untuk
berperan. Segala perbuatan yang baik akan memperoleh ganjaran dan segala
perbuatan yang jahat akan dihukum. Hukuman itu akan berlangsung nanti setelah
kematian, karena di sanalah segala ganti rugi terhadap kesusahan dan
penderitaan akan diperoleh dan kejahatan akan dibalas setimpal dengan perbuatn
manusia. Freud kemudian menyimpulkan bahwa religi adalah suatu ilusi yang
berasal dari semacam infantilisme atau sifat kekanak-kanakan. Dengan demikian,
bagi Freud, Tuhan hanyalah ilusi.
2.2.3 Filsafat Antropologi
Filsafat antropologi adalah bagian metafisika khusus yang
mempersoalkan apakah manusia itu?, apakah hakikat manusia? dan bagaimana
hubungan dengan alam dan sesamanya?. Maka filsafat antropologi bupaya menemukan
jawaban atas pertanyaan tersebut sebagaimana adanya, baik menyangkut esensi,
eksistensi, status maupun relasi-relasinya. Sebenarnya sejak zaman purba
manusia dipersoalkan secara falsafati (selengkapnya baca pada pembahasan
masalah manusia).
3. Logika
Logika adalah istilah yang dibentuk dari bahasa Yunani logikos yang berasal dari kata benda logos, artinya sessuatu yang diutarakan, suatu pertimbangan akal pikiran, kata,
percakapan dan bahasa. atau yang
yang berkenaan dengan bahasa. Jadi secara etimologi logika berarti suatu
pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam
bahasa. Dengan demikian bahwa logika adalah ilmu pengetahuan dan kecakapan
untuk berfikir lurus (tepat). Dari definis yang diungkapkan oleh para ahli dapat
disimpulkan bahwa logika adalah cabang filsafat yang menyusun, mengembangkan,
dan membahas asas-asas, aturan-aturan formal dan prosedur-prosedur normatif
serta kriteria yang sahih bagi penalaran dan penyimpulan demi mencapai
kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional
Logika merupakan suatu percobaan untuk memberi jawaban
terhadap pertanyaan : “apakah yang dimaksud dengan pendapat yang benar ?,
apakah yang membedakan antara argumentasi yang benar denga yang keliru ? atau
apakah yang dapat digunakan untuk meneliti kekeliruan pendapat ? Memperhatikan
pertanyaan-pertanyaan tersbut, Popkin dan Stroll berkesimpulan bahwa logika
merupakan salah satu cabang filsafat yang tergolong penting sekali. Semua
bagian atau cabang filsafat tidak dapat lepas pada penggunaan pikiran atau cara
berfikir, apakah pikiran itu benar atau keliru akan tergantung pada
penyesuaiannya dengan asa-asas logika. Di situlah letak logika di perlukan
sebagai dasar penggunaan pikiran.[13][13]
Logika itu terbagi kepada beberapa macam, antara lain logika naturalis, logika ilmiah, logika
artificialis atau tradisional serta logika
formal dan logika material.
Logika naturalis (alamiah) adalah bahwa manusia berfikir menurut kudrat atau
fitrahnya scara alamiah. Umur logika itu sama usianya dengan umur manusia,
akrena sejak kelahirannya dia sudah dilengkapi oelh Tuhan dengan akal / ratio,
yang berarti sejak itu logika telah ada dalam bentuknya yang sederhana, alamiah
dan belum dikembangakan secara ilmiah. Misalnya, manusia dapat berpikir secar
praktis bahwa si A tidak sama dengan si B, makan tidak sama dengan tidur dan
lain sebagainya. Jadi kecakapan berfikir logis manusia adalah anugrah dari
Tuhan yang tidak dimiliki oleh makhluk seperti
hewan.
Sedangkan logika ilmiah (scientific) adalah kelanjutan
dari logika alamiah (natural), yaitu apabila manusia diberikan bimbingan secara
sistematis untuk dapat menguasai pola-pola pikir secara teratur sesuai dengan
hukum-hukum ketetapan atau kebenaran berfikir. Adapun logika artificialis yang
disebut juga logika tradisional (logika Aristoteles), yang kelahirannya sebagai
logika tradisi kuno sejak Aristoteles berhasil membukukannya dalam ‘Organon’
sebagai buku logika pertama. Menurut tradisi, Aristoteleslah yang berhasil
merumuskan ilmu tentang kaidah berfikir benar secara sistematis. Menurutnya,
logika adalah sebagai organon (alat dan instrumen) untuk berpikir benar dan
menemukan kebenaran. Setelah pengetahaun logika ini membudaya di kalangan umat
manusia, maka logia artifisialis ini dikembangkan secara ilmiah menjadi dua
bagian, yaitu logika formal dan logika material.
Logika formal (logic)
atau logika minor, mempelajari asas-asas, kaidah, aturan atau hukum berfikir
yang harus ditaati, agar manusia dapat berfikir dengan tepat dan benar serta
mencapai kebenaran. Jadi bagaimana seharusnya manusia berfikir dengan baik
sesuai aturan tersebut. Sedangkan logika material atau kritik (mayor),
mempersoalkan isi atau materi pengetahuan dan bagaimana caranya mempertanggungjawabkan
isi pengetahuan itu. Dengan demikain logika ini mempelajari tentang : sumber
dan asal pengetahuan, alat-alat pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan,
kemungkinan-kemungkinan dan batas-batas penjelasan pengetahuan, metode ilmiah
pengetahaun dan kebenaran serta kekeliruan dan sebagainya. Logika material
inilah sebagai wadah timbulnya filsafat mengenal (kennisleer) dan filsafat ilmu pengetahuan (wetenschapleer).[14][14]
4. Etika
Etika (dalam Islam dikenal akhlaq) adalah ilmu yang
membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami
oleh pikiran manusia. Etika berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua
kata, ethos dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak dan kebiasaan, sedangkan
ethikos berarti susila, keadaban atau perbuatan dan kelakuan yang baik. Adapun
istilah moral berasal dari bahasa Latin, yaitu mores merupakan bentuk jamak dari mos, yang berarti adat istiadat atau kebiasaan, watak, kelakuan,
tabiat dan cara hidup. Mempelajari etika bertujuan untuk mendapatkan konsep
yang sama mengenai penilaian baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruang dan
waktu tertentu. Etika biasanya disebut ilmu pengetahuan normatif, sebab etika
menetapkan ukuran bagi perbuatan manusia dengan penggunaan norma tentang baik
dan buruk.
Etika merupakan cabang filsafat yang amat berpengaruh
sejak zaman Socrates (470-399 SM). Etika membahas baik dan buruk atau benar
tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti
kewajiban-kewajiban manusia. Etika tidak mempersoalkan apa atau siap manusia
itu, tetapi bagaimana manusia seharusnya berbuat dan bertindak.
4.1. Etika
Deskriptif
Etika deskriptif menguraikan dan menujelaskan kesadaran
dan pengamalan moral secara deskriptif. Ini dilakukan dengan bertolak dari
kenyataan bahwa ada fenomena moral yang dapat digambarkan dan diuraikan secara
ilmiah, seperti yang dapat dilakukan terhadap fenomena spritual lainnya,
misalnya religi dan seni. Oleh karena itu, etika deskriptif digolongkan ke
dalam bidang ilmu pengetahuan empiris dan berhubungan erat dengan sosiologi.
Dalam hubungan dengan sosiologi, etika deskriptif berupaya menemukan dan
menjelaskan kesadaran, keyakinan dan pengalaman moral dalam suatu kultur
tertentu.
Etika deskriptif dapat dibagi dua, yaitu pertama sejarah moral yang meneliti cita-cita,
aturan-aturan dan norma-norma moral yang pernah diberlakukan dalam kehidupan
manusia pada kurun waktu dan suatu tempat tertentu atau dalam suatu lingkungan
besar yang mencakup beberapa bangsa, kedua fenomenologi
moral, yang berupaya menemukan arti dan makna moralitas dari berbagai
fenomena moral yang ada. Fenomenologi moral tidak bermaksud menyediakan
petunjuk-petunjuk atau patokan moral yang perlu dipegang oleh manusia. Karena
itu fenomenologi moral tidak mempermasalahkan apa yang benar dan apa yang
salah.
4.2. Etika Normatif
Etika normatif disebut juga filsafat moral atau etika
filsafat. Etika normatif dapat dibagi ke dalam dua teori, yaitu teori nilai dan
teori keharusan. Teori nilai mempersoalkan sifat kebaikan, sedangkan teori
keharusan membahas tingkah laku. Ada pula yang membaginya kepada dua golonang
atau paham : konsekuensealis (teleologikal) dan nonkonsekuensealis (deantologikal).
Konsekuensealis (teleologikal) berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan
ditentukan oleh konsekuensinya, sedang nonkonsekuensialis berpendapat bahwa
moralitas suatu tindakan ditegntukan oleh sebab-sebab yang menjadi dorongan
dari tindakan itu atau ditentukan oleh sifat-sifat hakikinya atau oleh
keberadaannya yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip
tertentu.
Baik teleologikal maupun deontologikal dapat dimasukkan
ke dalam teori keharusan. Salah satu
aliran yang terkenal dalam teori keharusan yang teleologikal adalah aliran egoisme. Di antara versi egoisme
mengajarkan bahwa tolok ukur bagi penilaian benar salahnya suatu tindakan
adalah dengan memperhatikan untung ruginya tindakan itu bagi pelakunya sendiri.
Egoisme menegaskan bahwa manusia memiliki hak untuk berbuat apa saja dianggap
menguntungkan dirinya. Sedangkan dalam teori keharusan yang deontologikal,
tampillah aliran formalisme. Para
pemikir formalis mengatakan bahwa akibat (konsekuensi) bukan hanya tidak mampu,
melainkan juga tidak relevan untuk menilai suatu tindakan atau perbuatan. Bagi
mereka, yang paling penting dan menentukan adalah motivasi. Motivasi yang baik akan membuat tindakan atau perbuatan
itu benar kendati akibat dari perbuatan itu ternyata buruk.
4.3. Metaetika
Metaetika merupakan suatu studi analisis terhadap
disiplin etika. Metaetika baru muncul pada abad 20, yang secara khusus
menyelidiki dan menetapkan arti serta makna istilah-istilah normatif yang
diungkapkan lewat pernyataan-pernyataan etis yang membenarkan atau menyalahkan
suatu tindakan. Istilah-istilah normatif yang sering mendapat perhatian khusus
antara lain, keharusan, baik dan buruk, benar dan salah, yang terpuji dan yang
tidak terpuji, yang adil, yang semestinya dan sebagainya. Ada beberapa teori
yang disodorkan oleh aliran-aliran yang terkenal, yaitu :
·
Teori naturalistis, yang
mengatakan bahwa istilah-istilah moral sesungguhnya menamai hal-hal atau
fakta-fakta yang pelik dan rumit. Istilah normatif etis, seperti baik dan benar
dapat disamakan dengan istilah deskriptif, yang dikehendaki Tuhan, yang diidamkan
atau yang biasa. Teori naturalistis juga berpendapat bahwa
pertimbangan-pertimbangan moral dapat dilakukan lewat penyelidikan dan
penelitian ilmiah.
·
Teori kognitivis, mengatakan
bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak selalu benar, sewaktu-waktu bisa
keliru. Itu berarti putusan moral bisa benar dan bisa salah. Selain itu, pada
prinsipnya pertimbangan-pertimbangan moral dapat menjadi subyek pengetahuan
atau kognisi. Teori ini dapat bersifat naturalistis dan dapat juga bersifat
non-naturalistis.
·
Teori intuitif, berpendapat
bahwa pengetahuan manusia tentang yang baik dan yang salah diperoleh secara
intuitif. Teori ini menolak kemungkinan untuk memberi batasan-batasan
non-normatif terhadap istilah-istilah normatif etis. Bagi teori ini pengetahuan
manusia tentang yang baik dan yang salah itu jelas dengan sendirinya karena
manusia dapat merasa dan mengetahui secara langsung apakah nilai hakiki suatu
hal itu baik atau buruk, atau benar tidaknya suatu tindakan.
·
Teori subyektif, menekankan
bahwa pertimbangan-pertimbangan moral sesungguhnya hanya dapat mengungkapkan
fakta-fakta subyektif tentang sikap dan tingkah laku manusia.
Pertimbangan-pertimbangan moral itu tidak mungkin dapat mengungkapkan
fakta-fakta obyektif, karena itu, apabila seseorang mengatakan bahwa sesuatu
itu benar berarti dia menyetuji sesuatu itu benar demikian. Sebaliknya apabila
dia mengatakan sesuatu itu salah berarti dia hanya mengungkapkan
ketidaksetujuannya terhadap apa yang dikatakan salah itu
·
Teori emotif, menegaskan
bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak mengungkapkan sesuatu apapun yagn
dapat disebut selah atau benar kendati hanya secara subyektif.
Pertimbangan-pertimangan moral tidak lebih dari suatu ungkapan emosi
samata-mata. Menurut teori ini istilah-istilah etis tidak memiliki makna apapun
kecuali hanya sebagai tanda dari luapan perasaan dan, dalam hal ini, sama saja
seperti rintihan, seruan dan umpatan.
·
Teori imperatif, berpendapat
bahwa pertimbanga-pertimbangan moral sesungguhnya bukanlah ungkapan dari
sesuatu yang dapat dinilai salah atau benar. Dengan demikian, tak satupun
istilah moral yang dapat memuat sesuatu yang boleh disebut salah atau benar.
Teori ini mengatakan bahwa istilah-istilah moral itu sesungguhnya hanya
merupakan istilah samaran dari keharusan-keharusan ataupun perintah-perintah.
Jadi, apabila dikatakan “kebohongan itu tidak baik”, yang dimaksudkan adalah
“jangan berbohong” dan jika dikatakan “kebaikan itu terpuji dan benar”, yang
dimaksudkan adalah “lakukanlah kebaikan”.
·
Teori skeptis, yang
mengajarkan bahwa sesungguhnya tidak ada kebenaran moral; moralitas tidak
memiliki dasar rasional; yang mengemukakan bahwa prinsip-prinsip moral tidak
dapat dibuktikan kebenarannya; yang berpendapat bahwa salah benarnya suatu hal
itu hanyalah semata-mata soal adat, kebiasaan atau selera; yang mengatakan
bahwa norma-norma etis tidak mutlak; yang menganggap bahwa norma-norma etis itu
bersifat relatif dan hanya benar dan berlaku dalam suatu lingkungan budaya tertentu
dalam kurun waktu tertentu pula.
5. Estetika
Estetika adalah cabang filsafat yang membicarakan masalah
seni (art) dan keindahan (beauty). Istilah ini berasal dari bahasa
Yunani, aisthesis yang berarti
penyerapan inderawi, pemahaman intelektual atau bisa juga berarti pengamatan
spritual. Dengan kata lain, estetika merupakan studi filsafat yang
mempersoalkan atau mengkaji hal-ihwal nilai keindahan. Keindahan mengandung
arti bahwa di dalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata
secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh dan
menyeluruh. Bagi ilmu pengetahuan yang beraneka ragam itu, filsafat berfungsi
sebagai pengikat ke arah keseragaman dan kesatuan. Keanekaragaman ilmu
pengetahuan yang berada secara terpisah-pisah antara satu dengan yang lain itu
terjadi seragam, tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan
hubungan yang utuh menyeluruh di dalam obyek, metode dan teori kebenaran
filsafat (Suparlan Suhartono, 2004: 162).
Estetika dapat dibagi menjadi dua, yaitu estetika deskriptif yang menguraikan dan
melukiskan fenomena-fenomena pengalaman keindahan, dan estetika normatif yang mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar
dan ukuran pengalaman keindahan. Ada pula yang membagi estetika kepada filsafat
seni dan filsafat keindahan. Filsafat seni mempersoalkan status
ontologis dari karya seni dan mempertanyakan pengetahuan apakah yang dihasilkan
oleh seni serta apakah yang dapat diberikan oleh seni untuk menghubungkan
manusia dengan realitas. Sedangkan filsafat keindahan membahas apakah keindahan
itu dan apakah nilai indah itu obyektif atau subyektif.
Menurut Plato seni atau art adalah keterampilan untuk mereproduksi sesuatu, baginya apa
yang disebut hasil seni tidak lain dari tiruan (imitation). Contoh, seseorang yang melukis panorama alam yang indah
sesungguhnya hanya meniru panorma alam yang pernah dilihatnya. Jadi karya-karya
seni hanyalah tiruan dari meja, burung, kucing dan sebagainya dimana benda
semua itu juga merupakan tiruan dari bentuk ideal yang ada dalam alam ide.
Aristoteles sependapat dengan Plato tentang seni sebagai tiruan dari berbagai
hal yang ada. Contoh yang dibuat oleh Aristoteles adalah puisi. Dia mengatakan
bahwa puisi merupakan tiruan dari tindakan dan perbuatan manusia yang
dinyatakan lewat kata-kata. Apabila Plato menganggap seni tidak begitu penting,
Aristoteles justru menganggap seni itu penting karena memiliki pengaruh yang
besar bagi manusia. Aristoteles mengatakan bahwa puisi lebih filosofis daripada
sejarah.
Pada abad pertengahan, estetika tidak begitu mendapat
perhatian dari para filsuf, karena gereja Kristen semula bersikap memusuhi seni
dengan alasan hal itu bersifat duniawi dan merupakan produk bangsa kafir Yunani
dan Romawi. Namun Augustinus (354-430) memiliki minat cukup besar terhadap
seni, dengan mengembangkan suatu filsafat Platonisme Kristen yang mengajarkan
bentuk-bentuk Platonis. Dia mengatakan bahwa bentuk-bentuk Platonis juga berada
dalam pemikiran Tuhan. Menurutnya keindahan merupakan salah satu bentuk yang
ada dalam pemikiran Tuhan, oleh karenanya keindahan dalam seni dan alam
haruslah memiliki pertalian yang erat dengan agama. Kendatipun mengikuti
pendapat Plato tentang keindahan, namun dia membantah pendapatnya yang
mengatakan bahwa seni itu tiruan. Menurut Augustinus, hewan juga meniru tapi
tidak dapat menghsilkan karya seni.
Kemudian David Hume mengatakan bahwa keindahan bukanlah
suatu kualitas obyektif yang terletak di dalam obyek-obyek itu sendiri, melainkan
berada di dalam pikiran. Manusia tertarik pada suatu bentuk dan struktur
tertentu lalu menyebutnya indah. Dia mengatakan bahwa apa yang dianggap indah
oleh manusia sesungguhnya amat ditentukan oleh sifat alami manusia, yang
dipengaruhi juga oleh kebiasaan dan preferensi individual. Senada dengan Hume,
Immanuel Kant berpendapat bahwa keindahan itu merupakan penilaian estetis yang
semata-mata subyektif. Menurutnya bahwa pertimbangan estetis memberikan fokus
yang amat dibutuhkan untuk menjembatani segi-segi teori dan praktek dari sifat
dasar manusia. Dia menganggap bahwa kesadaran estetis sebagai unsur yang
penting dalam pengalaman manusia pada umumnya.
Seorang filsuf Amerika, George Santayana (1863-1952)
mengembangkan estetika naturalistis. Sama dengan Hume dan Kant, dia menolak
obyektivitas keindahan. Menurut dia keindahan identik dengan kesenangan yang
dialami manusia ketika ia mangamati obyek-obyek tertentu. Filsuf Itali,
Benedetto Croce (1866-1952) mengembangkan teori estetika lewat alam pikiran
filsafat idealisme. Croce menyamakan seni dengan intuisi, dan intuisi itu
sendiri adalah gambar yang berada dalam alam pikiran. Dengan demikian, seni
berada di alam pikiran seniman. Karya seniman dalam bentuk fisik sesungguhnya
bukan seni, melainkan semata-mata alat bantu untuk menolong penciptaan kembali
seni yang sebenarnya berada di alam pikiran seniman. Dia juga menyamakan
intuisi dengan ekspresi. Karena seni sama dengan intuisi dan intuisi sama
dengan ekspresi, maka seni sama dengan ekspresi. Apa yang diekspresikan itu
tidak lain dari perasaan si seniman.
FILSAFAT
TENTANG BERBAGAI DISIPLIN ILMU
Sebagaimana telah disinggung
terdahulu bahwa filsafat adalah induk dari semua disiplin ilmu, artinya pada
mulanya filsafat itu mencakup seluruh ilmu pengetahuan yang dikenal saat ini.
Namun kemudian, secara berangsur-angsur, satu demi satu ilmu-ilmu itu mulai
melepaskan diri dari filsafat, menjadi mandiri dan terus mengembangkan diri.
Dalam mengembangkan dirinya, ilmu-ilmu tersebut terus mencari dan menerapkan
berbagai metode, sistem, prinsip dan sebagainya dengan mengadakan
penelitian-penelitian faktual dan praktis. Akan tetapi ketika ilmu pengetahuan
itu mengalami kebuntuan di dalam menghadapi persoalan realitas maka ia kembali
lagi kepada iduknya, yakni filsafat untuk meminta jawaban.
Oleh karena banyaknya pertanyaan atau
persoalan yang diajukan kepada berbagai ilmu pengetahuan telah melampaui
kompetensinya dan harus meminta jawaban dari filsafat, maka lahirlah filsafat
khusus yang membahas tentang berbagai disiplin ilmu. Filsafat khusus ini
menerapkan berbagai metode filosofis
dalam upaya mencari dan menemukan akan serta asas realitas yang
dipersoalkan oleh bidang ilmu tersebut demi memperoleh kejelasan lebih pasti.
Seperti diketahui bersama bahwa saat
ini terdapat begitu banyak ilmu pengetahuan yang berkembang, yang pada dasarnya
dapat diklasifikasikan kepada tiga kelompok besar, yaitu : ilmu-ilmu deduktif
(ilmu formal), ilmu-ilmu induktif (ilmu empiris) dan ilmu-ilmu reduktif
(sejarah dan sebagainya). Pada hakikatnya persoalan-persoalan falsafati
terdapat di seluruh bidang ilmu dari ketiga kelompok tersebut. Dalam makalah
ini hanya akan dikemukakan beberapa saja.
1.
Filsafat Politik
Filsafat politik adalah
refleksi filosofis mengenai masalah-masalah sosial politik yagn dapat dibedakan
menjadi dua bagian pembahasan yang berkaitan erat, yakni pertama mempersoalkan
hakikat, kedua mempersoalkan fungsi dan tujuan. Akan tetapi dalam kenyataannya,
filsafat politik bukan hanya mempersoalkan hakikat, fungsi dan tujuan negara,
melainkan juga membahas soal keluaga dalam negara, pendidikan, agama, hak dan
kewajiban individual, kekayaan dan harta milik pemerintah dan sebagainya.
Filsafat politik berbeda dengan ilmu politik, karena ilmu politik bersifat
deskriptif dan bersangkut paut dengan fakta-fakta, sedangkan filsafat politik
bersifat normatif dan bersangkut paut dengan nilai-nilai.
Plato dalam bukunya Republika
mempersoalkan dan membahas berbagai permasalahan tersebut. Menurut Plato,
negara ideal adalah negara yang penuh dengan kebajikan dan keadilan. Setiap
warganya berfungsi sebagaimana mestinya dalam upaya merealisasikan negara ideal
itu, oleh karenanya maka pendidikan harus diatur oleh negara. Pendidikan
menduduki tempat amat penting dalam filsafat politik Plato. Agar negara ideal
itu dapat terwujud nyata, yang patut menjadi raja atau presiden adalah mereka
yang mempelajari filsafat. Dengan kata lain raja haruslah seorang filsuf,
karena hanya filsuflah yang benar-benar mengenal ide-ide. Selain itu filsuf
juga tahu tentang kebijakan, kebaikan dan keadilan, sehingga pemerintahannya
tidak akan mengarah pada kejahatan dan ketidakadilan. Menurut Plato, hanya
filsuflah yang memiliki pengetahuan yang sesungguhnya, dan karena pengetahuan
adalah kekuasaan, maka filsuflah yang layak memerintah.
Sementara Aristoteles
berpendapat bahwa negara adalah persekutuan yang berbentuk polis yang dibentuk
demi kebaikan tertinggi bagi manusia. Negara harus mengupayakan dan menjamin
kesejahteraan bersama yang sebesar-besarnya karena hanya dalam kesejahteraan
umum itulah kesejahteraan individual dapat diperoleh. Menurut dia alangkah
baiknya apabila negara diperintah oleh seorang filsuf-raja yang memiliki
pengetahuan sempurna dan amat bijaksana, karena akan menjamin tercapainya
kebaikan tertinggi bagi para warganya. Akan tetapi lanjutnya, di dunia ini
tidak mungkin dapat ditemukan seorang filsuf-raja yang sempurna, kareanya yang
terpenting adalah menyusun hukum dan konstitusi terbaik yang menjadi sumber
kekuasaan dan menjadi pedoman pemerintahan bagi para penguasa.
Filsafat politik klasik
senantiasa bermuara pada etika, yang pada masa itu menduduki tempat paling
mulia di antara segala cabang filsafat. Persoalan yang dikemukakan dan
pertanyaan yang di ajukan merupakan abstraksi moral yang bersumber dari upaya
untuk memberi arti dan makna bagi kehidupan individu dan masyarakat. Dengan
demikian ada tujuan lebih pasti dan lebih agung yang hendak dicapai, kendati
harus melewati perjuangan yang tidak kunjung selesai. Dalam filsafat politik
modern, pokok persoalan yang utama adalah masalah individu dan hak-hak
miliknya. Itu terlihat jelas lewat tema-tema pembahasan filsafat politik masa
kini yang berkisar pada soal kebebasan, otoritas, hak-hak asasi manusia,
demokrasi, hak dan kewajiban, keadilan dan lain-lain.
2.
Filsafat Hukum
Filsafat hukum berbeda dengan
ilmu hukum. Filsafat hukum bersifat universal, karena mem-persoalkan hukum
secara umum. Filsafat hukum tidak membicarakan hukuk di Indonesia atau di
Amerika Serikat, melainkan hukum itu an sich. Adapun ilmu hukum
mempelajari isi perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, Amerika Serikat,
Perandis dan lain sebagainya. Filsafat hukum merupakan refleksi filosofis
mengenai masalah-masalah hukum. Yang dipersoaalkan adalah apakah sebenarnya dan
hakikat hukum; apa dan bagaimana sifat hukum; apakah fungsi dan tujuan hukum;
apakah keadilan itu; dan mengapa manusia harus patuh terhadap hukum.
Menurut Plato hukum hanya
merupakan sebagian dari pengetahuan yang dimiliki penguasa negara, yaitu sang
filsuf-raja. Hukum bisa berarti baik bagi yang diperintah, sejauh ia dinilai
baik oleh sang filsuf-raja. Karena filsuf-raja selaku penguasa adalah orang
yang paling arif serta memiliki moralitas dan pengetahuan yang sempurna, maka
warga negara tidak perlu merasa khawatir bahwa pada suatu saat filsuf-raja akan
menyalahgunakan kebebasannya terhadap hukum. Sikap Plato itu merupakan akibat
logis dari keyakinannya yang menempatkan pengetahuan di atas segala-galanya.
Ini karena apabila pengetahuan yang dinobatkan menjadi ‘yang mulia’ segala
sesuatu yang lain –termasuk hukum– harus berada di bawahnya.
Akan tetapi kemudian Plato
menyadari bahwa ternyata sangat sulit mencari orang yang benar-banar arif dan
memiliki pengetahuan yang sempurna. Oleh sebab itu, dia mengungkapkan betapa
perlunya menegakkan hukum dan membuat undang-undang. Dengan kata lain, para
penguasa harus memerintah dengan hukum dan berdasarkan undang-undang. Itu bukan
berarti bahwa Plato mendewakan dan mengagungkan hukum. Menurutnya,
undang-undang dibuat demi kebutuhan praktis, namun tidak boleh mengikat,
membelenggu dan membatasi gerak seorang negarawan sejati untuk mengubah,
menambah atau membatalkan semua undang-undang yang telah usang. Plato juga
berpendapat bahwa hukum dan undang-undang bukan semata-mata dimaksudkan untuk
memelihara ketertiban dan menjaga stabilitas negara, tetapi juga untuk menolong
warga negara mencapai keutamaan atau kebajikan pokok sehingga benar-benar layak
menjadi warga negara ideal.
Selanjutnya Aristoteles
berpendapat bahwa hukum adalah sumber kekuasaan dalam negara. Apabila hukum
telah menjadi sumber kekuasaan, maka pemerintahan para penguasa akan terarah
untuk kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum. Hukum sebagai sumber
kekuasaan harus memiliki kewibaan dan kedaulatan tertinggi dalam negara. Bagi
Aristoteles hukumlah yang seharusnya memiliki kedaulatan tertinggi, bukan
menusia. Karena bagaimanapun arifnya para penguasa itu tidak mungkin mereka
dapat menggantikan kedudukan hukum.
Aristoteles adalah filsuf
pertama yang membedakan antara hukum kebiasaan dan hukum tertulis. Hukum
kebiasaan adalah landasan dari segala pengetahuan dan pengalaman manusia di
sepanjang masa. Oleh sebab itu hukum kebiasaan bersifat abadi, berlaku dengan
sendirinya dan pada dasarnya tidak berubah-ubah. Adapun hukum tertulis
seluruhnya dibuat, disusun dan ditetapkan oleh manusia, maka dapat diubah
sesuai dengan keadaan dan kebutuhan manusia.
3.
Filsafat Agama
Filsafat agama bukanlah cabang
theologi, karenanya bukan merupakan pembelaan filosofis terhadap dogma,
ajaran teologis tertentu dan keyakinan religius. Filsafat agama adalah cabang
filsafat yang baru muncul pada abad ke 18. Filsafat agama ini sering kali
dikacaukan dengan theologi natural – istilah yang telah dikenal sejak
abad pertengahan – namun permasalahannya telah dipersoalkan sejak zaman Yunani
kuno. Teologi natural merupakan upaya rasional untuk menjawab pertanyaan
tentang Tuhan, yakni apakah Tuhan itu benar-benar ada ? Jika benar ada,
bagaimana keberadaannya itu, bagaimana sifat-sifatnya dan bagaimana hubungannya
dengan manusia dan alam ?. Sebagai contoh dalam hal ini Xenophanes (570-475 SM)
mengatakan bahwa Tuhan itu benar ada dan satu adanya, Dia tidak diciptakan,
tidak bergerak dan tidak berubah. Dia mengisi seluruh alam, mendengar dan
melihat semua serta memimpin alam dengan kekuatan pikiranNya. Aristoteles
mengatakan bahwa Tuhan adalah substansi yang sempurna, Dia bersifat imaterial,
Dia penggerak pertama dan penggerak yang tidak digerakkan. Dengan demikian,
teologi natural dapat dikakatakan sebagai puncak metafisika.
Dalam filsafat agama
sesungguhnya berarti pemikiran filosofis atau pemikiran kritis analisis tentang
agama. Yang hendak dianalisis oleh filsafat agama adalah hakikat agama itu
sendiri, yakni pengalaman-pengalaman religius manusia. Jadi filsafat agama
tidak menganalisis isi kepercayaan iman, melainkan mempertanyakan apakah
hakikat iman an sich, di samping Selain itu filsafat agama juga
menganalisis berupaya menjelaskan fenomena agama, terutama hakikat hubungan
manusia dengan Tuhannya. Lalu apa hakikat agama?. Agama adalah suatu keyakinan
akan adanya suatu kenyataan trans-empiris, yang begitu mempengaruhi dan
menentukan, sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah manusia. Oleh karena
itu agama merupakan suatu misteri yang tidak terpecahkan oleh akal budi
manusia.
Pengalaman religius adalah
suatu hubungan pribadi antar manusia dan Tuhan. Hubungan itu menggoncangkan,
tetapi juga memberi kedamaian. R. Otto mengatakan bahwa hubungan manusia dengan
Tuhan membuat manusia gemetar, segan dan takut. Ungkapan Otto yang terkenal
adalah : “Mysterium Tremendum et Fascinosum”, maksudnya adalah Yang
Kudus yang membuat manusia gemetar, segan dan takut itu juga membuat manusia
tertarik dan terdorong untuk menyatukan diri denganNya. Pengalaman manusia
dalam hibingannya dengan Tuhan sangat berbeda dengan pengalaman biasa. Hubungan
dengan Tuhan mendorong manusia untuk mengambil sikap tertentu, antara lain
senantiasa berkomuniaksi denganNya lewat beriman, ibadah, berdo’a, menyerahkan
diri, taat, mengasihi dan bergantung kepadaNya.
4.
Filsafat Pendidikan
Dalam arti yang sangat luas, filsafat
pendidikan adalah pemikiran-pemikiran atau konsepsi filosofis tentang
pendidikan. Ada pula yang mengartikan sebagai proses pendidikan, yaitu yang
bersangkut paut dengan cita-cita, bentuk, metode atau hasil dari pendidikan.
Juga ada yang mengatakan bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat tentang
disiplin ilmu pendidikan, yakni yang bersangkut paut dengan berbagai konsep,
ide dan metode disiplin ilmu pendidikan. Secara historis, filsafat pendidikan
yang dikembangkan oleh para filosuf awal seperti Aristoteles, Augustinus dan
John Locke adalah tentang proses pendidikan sebagai bagian dari sitem filsafat
mereka dalam konteks teori-teori etika, politik, epistemologi dan metafisika
yang mereka anut. Sedangka filsafat pendidikan yang dikembangkan sekarang (oleh
pengaruh filsafat analitik) merupakan filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan
dalam konteks dasar-dasar pendidikan yang dihubungkan dengan bagian-bagian
disiplin ilmu lain, yaitu sejarah pendidikan, psikologi pendidikan dan
sosiologi pendidikan.
Ada beberapa aliran filsafat yang
begitu mempengaruhi perkembangan filsafat pendidikan saat ini, di antaranya
yang paling terpenting adalah :
· Filsafat Analitik, yaitu sebuah filsafat pendidikan yang
menganalisis dan menguraikan istilah-istilah dan konsep-konsep seperti
pengajaran (teaching), kemampuan (ability), pendidikan (education) dan sebagainya. Alat yang
digunakan alam filsafat analitik untuk melaksanakan tugasnya adalah logika dan
lingualistik serta teknik-teknik analisis yang berbeda antara seorang filsuf dengan
filsuf yang lain.
·
Progresivisme, yang
berpendapat bahwa pendidikan bukan sekedar mentransfer pengetahuan kepada anak
didik, melainkan melatih kemampuan dan keterampilan berfikir dengan memberi
rangsangan yang tepat. Seorang tokoh pragmatisme, John Dewey, menyatakan bahwa
sekolah adalah institusi sosial dan
pendidikan itu sendiri adalah suatu proses
sosial. Selanjutnya, pendidikan adalah proses kehidupan (process of
living), bukan sebagai persiapan untuk masa depan. Pendidikan adalah proses kiehidupan
itu sendiri, maka kebutuhan individual anak didik harus lebih diutamakan, bukan
subject-oriented.
·
Eksistensialisme, mengatakan
bahwa yang menjadi tujuan utama pendidikan bukan agar anak didik dibantu
mempelajari bagaimana menanggulangi masalah-masalah eksistensial mereka,
melainkan agar dapat mengalami secara penuh eksistensi mereka. Para pendidik
eksistensialis akan mengukur hasil pendidikan bukan semata-mata pada apa yang
telah dipelajari dan di-ketahui oleh anak didik, tetapi yang lebih penting
adalah apa yang mampu mereka ketahui dan alami. Oleh karena itu mereka menolak
pendidikan dengan sistem indoktrinasi.
·
Rekonstruksionisme, yaitu terutama
merupakan reformasi sosial yang menghendaki renaisan sivilisasi modern. Para
penganut aliran ini melihat bahwa pendidikan dan reformasi sosial itu
sesungguhnya sama. Mereka memandang kurikulum sebagai “preblem-centered”.
Pendidikan pun harus menjawab pertanyaan George S. Cound : “Beranikah
sekolah-sekolah membangun suatu orde sosial baru ?”
5.
Filsafat Sejarah
Pembahasan filsafat sejarah
mengikuti dua alur yang berbeda, yaitu pertama disebut filsafat sejarah
spekulatif, yang berupaya untuk memandang proses sejarah secara menyeluruh,
baru kemudian mencoba menafsirkannya sedemikian rupa untuk memahami arti dan
makna serta tujuan sejarah. Alur kedua disebut filsafat sejarah kritis,
yang tidak memandang kepada proses sejarah secara menyeluruh, melainkan justru
memikirkan masalah-masalah pokok penyelidikan sejarah itu sendiri, cara dan
metode yang digunakan oleh sejarahwan dan sebagainya.
Dalam filsafat sejarah
spekulatif biasanya ada beberapa pertanyaan yang berupaya dijawab, antara lain
: Apakah hakikat, arti dan makna sejarah itu?. Apakah sebenarnya yang
menggerakkan proses sejarah itu?. Apakah tujuan akhir proses sejarah?. Tokoh
filsafat sejarah spekulatif adalah Giambattista Vico (1668-1744), Johann
Gottfried von Herder (1744-1803), Geong Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831),
Karl Marx (1818-1883) dan Arnold Joseph Toynbee (1889-1975). Dasar yang
digunakan mereka untuk menafsirkan proses sejarah begitu bervariasi. Ada yang
menafsirkan atas dasar pertimbangan empiris, metafisis dan religius. Karl Max
mengatakan bahwa sejarah sesungguhnya mengikuti pola garis lurus tunggal yang
terarah pada suatu tujuan yang dapat diketahui sebelumnya. Menurut Tounbee,
sejarah merupakan suatu siklus perubahan tetap yang senantiasa berulang.
Adapun hal-hal yang
dipertanyakan dalam filsafat sejarah kritis muncul dari renungan atas pemikiran
dan penalaran menurut ilmu sejarah, terutama bersifat epistemologis dan
konseptual. Pada umumnya pembahasan berkisar pada dua pokok soal yang penting,
yaitu mengenai logisitas ekspanasi yang diketengahkan oleh sejarahwan
profesional dan status epistemologis narasi sejarah masa silam. Karena itu,
timbullah pertanyaan-pertanyaan : Bagaimanakah sifat logis eksplanasi
peristiwa-peristiwa yang dikemukakan oleh sejarahwan?. Apakah narasi sejarah
memiliki validasi obyektif?. Tokohnya adalah Wilhelm Dilthey (1833-1911),
Benedetto Croce (1866-1952) dan Robin George Collingwood (1889-1945).
6.
Filsafat Bahasa
Filsafat bahasa yang
berkembang dewasa ini sering pula disebut sebagai filsafat analitik. Peloprnya
adalah George Edward Moore (1873-1959), seorang filsuf Inggris dari Universitas
Cambridge. Filsafat bahasa yang dikembangkannya merupakan kritikan terhadap
neo-idelalism yang katanya membuat pernyataan-pernyataan filsafat yang tidak dapat
dipahami karena tidak didasarkan pada logika. Menurutnya tugas filsafat
bukanlah untuk memberi eksplanasi atau interpretasi mengenai pengalaman kita,
melainkan memberi penjelasan dan keterangan terhadap konsep atau gagasan lewat
analisis yang berdasar pada akal sehat (common sense). Dia berpendapat
bahwa kekacauan dalam filsafat terjadi karena ungkapan filsafat bersimpang
jalan dengan bahasa biasa yang digunakan sehari-hari. Hal itu justru
menunjukkan bahwa akal sehat (common sense) telah diabaikan.
Filsuf lain yang mengembangkan
filsafat analitik lebih lanjut adalah Bertrand Russell (1872-1970) dan Ludwig
Wittgenstein (1889-1951), keduanya dari Universitas Caambridge. Menurut
Bertrand Russell, bahasa yang benar merupakan deskripsi dari suatu realitas. Dengan
menyelidiki unsur-unsur paling kecil dari bahasa, dia menemukan gambaran dari
fakta-fakta atomis. Dia menyebut bagian-bagian yang paling kecil dari bahasa
sebagai atom-atom logis. Rangkaian atom-atom logis itu membentuk apa yang
disebutnya molekul-molekul logis, yaitu pernyataan-pernyataan sederhana.
Russell berpendapat bahwa filsafat yang benar-benar bercorak ilmiah haruslah
menggunakan bahasa logika, bukan bahasa biasa.
Sementara filsafat Ludwig
Wittgenstein terbagi kepada dua periode yang masiug-masing mempengaruhi aliran
filsafat tertentu. Pemikiran Wittgenstein dalam periode sebelum tahun 1930
(Wittgenstein I), yang dikenal lewat karya tulisnya berjudul Tractus
Logico-philosophicus mempengaruhi Lingkaran Wina dan Neopositivisme di
Inggris. Pikiran Wittgenstein sesudah tahun 1930 (Wittgenstein II) yang dikenal
lewat karyanya berjudul Philosophical Investigations menjadi titik awal
analitika bahasa.
Wittgenstein I menegaskan
bahwa hanya pernyataan-pernyataan deskriptif yang memiliki arti. Bahasa
haruslah merupakan suatu deskripsi atau gambaran yang jelas dari suatu
realitas; sebab bila tidak, ia sama sekali tidak memiliki arti. Sedangkan
Wittgenstein II menyatakan bahwa arti suatu pernyataan tergantung pada jenis
bahasa yang digunakan. Ada berbagai jenis penggunaan bahasa yang semuanya
memiliki logika dan kebenaran tersendiri. Dalam philosophical Investigations,
Wittgenstein menjelaskan konsepnya tentang permainan bahasa (language game).
Permainan bahasa adalah suatu proses pemakaian kata, termasuk pula pemakaian
bahasa yang sederhana. Setiap bentuk permainan bahasa memiliki ketentuan dan
aturan sendiri yang tidak boleh dicampuradaukkan agar tidak menimbulkan
kekacauan. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa tidak mungkin ada ketentuan
dan perturan umum yang dapat mengatur seluruh bentuk permainan bahasa. Jelas
pula bahwa arti sebuah kata tergantung pada pemakaiannya dalam kalimat, dan
arti kalimat tergantung pada pemakaiannya dalam bahasa.
7.
Filsafat Matematika
Sejak
sekitar millenia ke 5 sampai ke 3 SM, matekatika telah dikenal di Mesir
dan Babilonia sebagai suatu alat yang sangat berguna untuk memecahkan berbagai
persoalan dan masalah praktis. Sebagai contoh, banjir tahunan di lembah Nil
memaksa orang-orang Mesir purba mengembangkan suatu rumusan atau formula yang
membantu mereka menetapkan dan menentukan kembali batas-batas tanah.
Rumus-rumus matematika juga digunakan untuk konstruksi, penyusunan kalender dan
perhitungan dalam perniagaan. Akan tetapi, matematika sebagai ilmu baru dikembangkan
oleh para filsuf Yunani sekitar 5000 tahun kemudian, dengan filsuf besar yang
terkenal adalah Pythagoras dan Plato. Kendati dapat dikatakan bahwa para filsuf
Yunani kuno bukan hanya menguasai matematika, melainkan juga ikut
mengembangkan.
Bagi Pythagoras, matematika adalah alat
yang sangat penting untuk memahami filsafat. Dia juga menemukan fakta yang
menunjukkan bahwa fenomena yang berbeda dapat memperlihat-kan sifat-sifat
matematis yang identik. Karena itu dia menyimpulkan bahwa sifat-sifat tersebut
dapat dilambangkan ke dalam bilangan dan dalam keterhubungan angka-angka.
Semboyan Pythagoras yang sangat terkenal adalah Panta Arithmos, artinya segala sesuatu adalah bilangan. Sedangkan
Plato berpendapat bahwa geometri adalah kunci untuk meraih pengetahuan dan
kebenaran filosofis. Menurutnya, ada suatu ‘dunia’ yang disebutnya ‘dunia ide’
yang dirancang secara matematis. Segala sesuatu yang dapat dipahami lewat
indera hanyalah suatu representasi tidak sempurna dari ‘dunia ide’ tersebut.
Prinsip pertama dan utama matematika
pada saat itu adalah abstraksi karena bagi para filsuf Yunani yang
mengembangkan matematika kebenaran
pada hakikatnya hanya bersangkut paut dengan suatu entitas permanen dan suatu
keterhubungan serta pertalian yang tidak berubah-ubah. Dengan demikian jelas
bahwa sejak semula matematika bukan hanya merupakan alat bagi pemahaman
filsafat, melainkan juga merupakan bagian dari pemikiran filosofis itu sendiri.
Pad masa kini filsafat matematika lebih mengeraskan titik tumpunya pada studi
tentang konsep-konsep matematika, hakikat matematika –termasuk ciri-ciri dan
karakteristiknya-, prinsip-prinsip serta justifikasi yang digunakan di dalam
matematika dan landasan matematika. Adapun suara yang terdengar dari kalangan
para ahli matematika yang mengharapkan agar para filsuf dapat berbuat lebih
banyak dengan menjadikan filsafat matematika sebagai penyusun, penghimpun dan
penerbit ilmu matematika yang dianggap telah berkeping-keping dan kacau balau
selama berabad-abad.
FILSAFAT TENTANG TUHAN, MANUSIA DAN ALAM
1. Masalah
Ketuhanan
Ketika Perang Dunia II berkecamuk,
terdapat suatu ungkapan yang populer bahwa di dalam lubang-lubang perlindungan
tidak ada penganut ateisme (paham anti Tuhan). Makna yang terkandung
dalam ungkapan itu adalah apabila seseorang telah terjebak dalam situasi yang
membahayakan jiwanya tentu ia segera mengakui adanya Tuhan. Dalam kondisi
seperti itu orang merasakan betapa perlunya Tuhan, dan sebagai konsekwensinya
dia harus mengakui adanya Tuhan. Demikian Louis O. Kattsoff dalam bukunya
Pengantar Filsafat (1996 : 443), ketika mengawali pembahasan tentang Apakah
Tuhan Itu ?.
Pada dasarnya manusia – secara fitrah
atau naluriyah – memerlukan suatu bentuk kepercayaan kepada kekuatan gaib
yang dapat melahirkan tata nilai guna menopang hidup budayanya. Dalam sejarah
kepercayaan umat manusia yang sudah ribuan tahun ini, tercatat beberapa
perkembangan sisitem kepercayaan kepada yang gaib tersebut, yaitu dinamisme,
animisme, politeisme dan monoteisme.[15][15]
Dinamisme adalah bentuk kepercayaan bahwa benda alam semesta ini mempunyai
kekuatan yang melebihi kekuatan manusia, sehingga terkadang dapat mendatangkan
bahaya bagi mereka. Air yang selama ini mereka anggap sangat bermanfaat bagi
kehidupan, tiba-tiba mendatangkan bencana seperti banjir besar dan dapat
membahayakan. Tanah yang selama ini dianggap dapat menumbuhkan dan menyuburkan
tanaman, tiba-tiba bergoyang dan menghancurkan harta benda. Demikian pula
pohon-pohon yang selama ini dapat dimakan buahnya tiba-tiba membesar dan sangat
rindang serta bersifat angker, dan lain sebagainya. Dari sinilah muncul
kepercayaan bahwa setiap benda yang ada di sekeliling manusia mempunyai
kekuatan misterius, sehingga perlu diyakini, disembah dan dimintai pertolongannya
aga bisa memelihara atau melindungi manusia.
Berbeda dengan dinamisme, animisme
mempercayai bahwa setiap benda alam semesta, termasuk manusia dan binatang
serta benda yang tidak bernyawa sekalipun mempunyai roh yang tidak terhingga
banyaknya. Roh dalam pemahaman masyarakat primitif ini adalah sesuatu yang
sangat halus sekali, mempunyai bentuk, umur dan mampu makan minum serta
mempunyai kekuatan dan kehendak, merasa senang dan susah. Roh diyakini bahwa
apabila marah akan membahayakan manusia, sehingga perlu disuguhi sesuatu yang
membuat dia senang dan rela seperti dengan cara sesajian berupa makanan atau
memberikan kurban kepadanya. Jadi animisme adalah paham yang mempunyai
kepercayaan kepada roh, yaitu bentuk kepercayaan kepada kekuatan gaib meningkat
menjadi kepercayaan kepada roh.
Sementara itu, politeisme adalah bentuk
kepercayaan kepada abstarksi atau fungsi benda yang dianggap mempunyai kekuatan
gaib. Dalam kepercayaan politeisme ini kekuatan gaib disimbolkan dengan Dewa
yang masing-masing mempunyai fungsi tersendiri, seperti menerangi alam,
menurunkan hujan, menetapkan nasib baik dan buruk manusia dan lain sebagainya.
Pada awalnya Dewa itu mempunyai kedudukan yang hampir sama, namun karena
beberapa hal akhirnya lama kelamaan beberapa di antara mereka memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain.
Adapun monoteisme adalah bentuk
kepercayaan kepada satu Tuhan. Orang-orang yang berfikir lebih mendalam
menganggap bahwa sistem kepercayaan politeisme (banyak Tuhan / Dewa) tidak
rasional dan tidak memuaskan. Oleh sebab itu mereka mencari sistem kepercayaan
yang dapat diterima akal dan memuaskan. Dari sini timbullah aliran yang
mengambil satu Dewa dari beberapa Dewa yang ada sebagai Dewa utama untuk
disembah.
1.1. Paham atau Aliran Ketuhanan
Dalam catatan sejarah ada
beberapa pandangan manusia tentang Tuhan, yaitu teisme, deisme, panteisme dan
penenteisme.[16][16] Aliran teisme mengatakan
bahwa alam diciptakan oleh Tuhan yang tidak terbatas, antara Tuhan dan makhluk
sangat berbeda. Menurut teisme, Tuhan di samping berada di alam juga jauh dari
alam. Menurut aliran ini Tuhan setelah menciptakan alam, tetap aktif menjaga
dan memelihara alam. Agama-agama besar seperti Yahudi, Nasrani dan Islam pada
dasarnya menganut paham teisme ini. Terdapat perbedaan yang cukup menonjol
tentang teisme dalam agama Islam dan Yahudi dengan Kristen (Nasrani). Dalam
Islam dan Yahudi Tuhan adalah zat yang Esa, sedangkan dalam Kristen Tuhan
adalah tiga pribadi (Trinitas).
Dalam agama Islam kejelasan tentang
Tuhan adalah Maha Esa, sekaligus transenden dan imanen. Beberapa ayat al-Qur’an
mengutarakan konsep ini, seperti sSurah Al-Ikhlas menunjukkan tentang keesaan
Tuhan (Allah), sementara transenden Tuhan dijelaskan dalam surah al-A’raf ayat
54 yang berbunyi, “Sesungguhnya Tuhan kamu adalah Allah yang telah menciptakan
langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Adapun
Imanen Tuhan dijelaskan dalam surah Qaf ayat 16, yang artinya : “Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. Kemudian
surah Yunus ayat 3 menjelaskan bahwa Tuhan di samping transenden juga imanen,
yang artinya, “Sesungguhnya Tuhan kamu adalah Allah yang menciptakan langit dan
bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arys untuk mengatur
semua urusan”. Di awal ayat ini dijelaskan bahwa Tuhan berada di atas ‘Arsy
yang berarti Dia jauh dari alam, namun di akhir ayat dijelaskan bahwa Tuhan
mengatur semua urusan yang mengesankan bahwa Dia selalu memperhatikan alam
(imanen). Konsep teisme dalam Islam lebih lanjut dijelaskan oleh seorang Imam
besar sekaligus Filosof Muslim bernama Al-Ghazali. Menurutnya Allah adalah zat
yang Maha Esa dan pencipta alam semesta serta berperan aktif dalam
mengendalikannya. Allah menciptakan alam dari tidak ada, dan Dia bisa mengubah
hukum alam dan semua ciptaannNya – sekalipun menurut manusia dianggap tidak
dapat berubah – sesuai dengan kekuasaan dan kehendak-Nya yang mutlak.
Tokoh Kristen yang pertama kali
mengemukakan gagasan teisme adalah St. Agustinus yang mengatakan bahwa Tuhan
ada dengan sendirinya, tidak diciptakan, tidak berubah, bersifat abadi dan
personal serta maha sempurna. Menurutnya Tuhan mencitptakan alam, juah dari
alam dan di luar demensi waktu, tetapi Dia mengendalikan setiap kejadian dalam
alam ini. Manusia menurutnya adalah sama dengan alam, tidak abadi, terdiri atas
jasad yang fana dan jiwa yang tidak mati. Setelah kematian, jiwa menunggu
penyatuan, baik dengan jasad lain maupun dengan keadaan yang lebih tinggi,
yaitu sorga atau neraka. Ketika dibangkitkan jiwa manusia akan mencapai
kesempurnaan. Karena itu hakikat manusia yang sebenarnya adalah jiwa, bukan
jasadnya. Jiwa yang bersih akan kembali kepada Penciptanya, yaitu Tuhan.
Sementara Filosof Yahudi yang menganut
paham teisme adalah Ibnu Maimun atau Maimonides. Menurutnya Tuhan meliputi
semua posisi yang penting, tidak berjasad dan tidak berpotensi serta tidak
menyerupai makhluk. Dalam hal ini Tuhan sama sekali jauh dari pengetahuan dan
pemahaman manusia, karena Dia adalah transenden. Sungguhpun demikian, lanjut
Ibnu Mainum Tuhan tetap memperhatikan nasib makhluk-Nya dan mengabulkan do’a
hamba-Nya. Bukti perhatian Tuhan kepada makhluk antara lain memberikan nikmat
yang bertingkat-tingkat. Semakin penting sesuatu itu untuk kebutuhan hidup maka
semakin mudah dan murah diperoleh, sebaliknya semakin tidak dibutuhkan maka
semakin jarang dan mahal didapatkan. Contohnya udara, air dan makanan adalah
merupakan kebutuhan pokok manusia. Dalam hal ini udara paling dibutuhkan,
karena tanpa udara manusia akan mati dalam waktu singkat, sementara dia bisa
bertahan hidup satu sampai dua hari kendati tidak ada air. Udara sebagai
kebutuhan paling pokok sangatlah mudah diperoleh dan lebih banyak daripada air. Demikian pula halnya
dengan air akan lebih mudah diperoleh ketimbang makanan, karena air lebih
dibutuhkan daripada air. Orang mungkin masih bisa bertahan hidup selama satu
minggu atau lebih dengan tidak makan, tapi dia akan mati jika tidak minum
selama tiga hari saja.
Adapun deisme adalah suatu paham
atau aliran ketuhanan yang mengatakan bahwa Tuhan berada jauh di luar alam.
Setelah Tuhan menciptakan alam semesta, Dia tidak lagi memperhatikan dan tidak
memeliharanya. Alam dibiarkan berjalan dengan aturan-aturan yang telah
ditetapkan ketika proses penciptaannya. Aturan-aturan itu sangat sempurna dan
tidak berubah-ubah. Dalam paham deisme ini Tuhan diibaratkan dengan tukang buat
jam yang sangat ahli, sehingga setelah jam itu selesai dibuat tidak lagi
membutuhkan si pembuatnya. Jam itu berjalan dengan mekanisme yang telah disusun
secara rapi. Begitulan bahwa alam menurut paham deisme ini bagaikan jam, yang
setelah diciptakan tidak lagi membutuhkan Tuhan
Deisme mulai muncul pada abad ke 17 M
yang dipelopori oleh Newton. Menurutnya, Tuhan hanya pencipta alam dan jika ada
kerusakan, baru alam membutuhkan Tuhan untuk memperbaikinya. Kemudian dengan
kemajuan ilmu pengetahuan, maka sebagian ilmuan semakin meyakini kebenaran dan
keuniversalan hukum-hukum fisika yang tidak berubah. Akibatnya, ahli fisika
beranggapan bahwa kebutuhan alam terhadap Tuhan dengan sendirinya semakin
kecil. Lama kelamaan mundullah paham bahwa Tuhan hanya menciptakan alam, selanjutnya
membiarkannya berjalan menurut hukum-hukum yang telah ditentukan. Para penganut
deisme sepakat bahwa Tuhan itu Esa dan jauh dari alam serta maha sempurna.
Mereka juga sepakat bahwa Tuhan tidak melakukan intervensi terhadap alam lewat
kekuatan supranatural.
Sedangkan Panteisme adalah paham
yang berkeyakinan bahwa seluruhnya adalah Tuhan. Menurut paham ini bahwa
seluruh alam ini adalah Tuhan dan Tuhan adalah seluruh alam. Benda-benda yang
dapat ditangkap dengan pancaindera adalah bagian dari Tuhan. Paham ini jelas
bertolak belakang dengan deisme yang mengatakan bahwa Tuhan itu jauh dengan
alam. Plotinus termasuk pendukung paham ini, yang dengan teori emanasinya dia
mengatakan bahwa alam merupakan pancaran atau sesuatu yang mengalir dari Tuhan.
Menurutnya, Tuhan tidak terbagi-bagi dan
tidak mengandung arti banyak. Yang banyak itu hanya mengalir dari yang satu,
yang wajib ada, sederhana dan absolut.
Filosof modern yang mempelopori
panteisme adalah Benedict de Spinoza dan Victoe Ferkiss. Menurut Benedict de
Spinoza, dalam jagad raya ini tidak ada yang rahasia karena akal manusia
mencakup segala sesuatu, termasuk Tuhan, bahkan Tuhan menjadi obyek pemikiran
akal yang terpenting. Menurut dia hanya ada satu substansi dan yang dimaksud
substansi adalah apa yang ada dalam dirinya sendiri. Artinya bahwa substansi
adalah sesuatu yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung kepada apapun selain
dirinya. Sementara Victor Ferkiss mengemukakan bahwa alam identik dengan Tuhan,
sehingga manusia merusak alam berarti merusak Tuhan. Berdasarkan keyakinan ini,
segala sesuatu yang terbatas, seperti alam beserta isinya tidak dapat berdiris
sendiri, melainkan tergantung kepada substansi yang Satu tersebut. Substansi
yang satu itu berada dalam segala sesuatu yang beraneka ragam. Tuhan dalam
paham ini merupakan kesatuan umum (impersonal) yang mengungkapkan diri-Nya
dalam alam.
Selanjutnya, Panenteisme adalah
suatu paham yang mengatakan bahwa semua dalam Tuhan. Beda dengan panteisme yang
mengatakan bahwa semua adalah Tuhan. Panenteisme lebih menekankan Tuhan pada
aspek terbatas, berubah, mengatur alam dan bekerjasama dengan alam untuk
mencapai kesempurnaan, ketimbang memandang Tuhan sebagai zat yang tidak
terbatas, menguasai alam dan tidak berubah. Menurut paham ini Tuhan terdiri
dari dua kutub, yaitu kutub potensi yakni bahwa Tuhan abadi, tidak
berubah dan transenden, dan kutub aktual dalam arti bahwa Tuhan berubah,
tidak abadi dan imanen (dekat dengan alam).
Salah seorang pelopor panenteisme
adalah Alfred North Whitehead. Menurutnya Tuhan sebenarnya terbatas, sebab
untuk menjadi sesuatu yang aktual harus terbatas. Tidak mungkin Tuhan tidak
terbatas dalam kutub aktual-Nya, sebab jika Dia tidak terbatas tentu menjadi jahat
sekaligus baik. Karena itu Tuhan sama sekali tidak bebas, tetapi tergantung
pada alam. Dengan demikian Tuhan dan alam bekerjasama untuk mencapai
kesempurnaan yang tertinggi. Dalam hal ini Tuhan berfungsi sebagai pengatur
alam aktual. Jadi Tuhan ada bersamaan dengan alam, bukan ada sebelumnya, namun
alam tidak identik dengan Tuhan. Tuhan sebagai daya yang menggerakkan dan
mengatur alam agar mampu mencapai tujuannya, sedangkan alam berfungsi menolong
Tuhan agar tertutup kekurangan-Nya.
Demikian pandangan atau paham manusia
tentang Tuhan yang kesemuanya itu, baik teisme, deisme, pnteisme dan
penenteisme tersebut memanga tidak ada yang benar-benar memuaskan para filosof.
Hal ini karena masalah Tuhan memang masalah yang paling rumit, sebab Dia adalah
zat yang immaterial, supranatural dan maha gaib. Dalam kajian agama maupun
filsafat, Tuhan memang merupakan masalah yang paling pokok. Agama tanpa
kepercayaan kepada Tuhan tidak disebut agama, demikian pula filsafat yang
pertama kali muncul adalah masalah metafisik yaitu dari mana asal usul alam
semesta dan zat apa yang mendasarinya.
Tuhan Personal dan Tuhan Impersonal
Dalam perspektif filsafat, Tuhan masih
bersifat impersonal karena belum memiliki identitas yang jelas. Para filosof,
terutama pada masa Yunani kuno, baru mampu mengetahui realitas tertinggi
sebagai sebab dari semua wujud, realitas itu belum merupakan konsep yang utuh
sebagaimana dalam agama. Sebagai contoh pendapat Thales bahwa alam semesta
berasal dari air, sedangkan Anaximenes menganggap berasal dari apeiron (sesuatu
yang tidak terbagi), dan Anaximandros mengatakan bahwa alam semesta berasal
dari udara, sementara Empedokles mengatakan bahwa itu berasal dari empat unsur
pokok yaitu udara, air, tanah dan api.
Plato dan Aristotels kemudian mengemukakan
pendapat yang sudah sampai pada pemikiran terhadap suatu realitas di luar alam,
yaitu zat yang berbeda dengan alam, bersifat immateri, abadi, esa dan sempurna.
Plato menamakan zat tersebut Ide Kebaikan dan Aristoteles menyebutnya
dengan Sebab Utama atau Penggerak Yang Tidak Bergerak.[17][17] Dalam pemikiran filsafat,
realitas tertinggi ini merupakan ide manusia dan kemestian logis dari
pemikiran, namun belum disebut sebagai Tuhan yang personal, tetapi Tuhan yang
impersonal, sebab tidak memiliki identiras. Tuhan yang personal hanya terdapat
dalam paham agama, seperti Yahudi, Nasrani dan Islam, karena identirasnya sudah
begitu jelas. Pada prinsipnya Tuhan yang personal dan Tuhan yang impersonal
dapat dibedakan sebagai berikut :
·
Tuhan personal
menekankan pada identitas sebagai zat yang sempurna dan pencipta, Tuhan
impersonal tidak mempersoalkan identitas, tetapi yang terpenting adalah ide
tentang Tuhan merupakan konsekwensi logis dari keberadaan wujud.
·
Tuhan personal
berasal dari petunjuk wahyu, sedangkan Tuham impersonal berasal dari kesimpulan
hasil pemikiran manusia. Karena itu, dalam agama Tuhan adalah zat pencipta dan
sekaligus pemelihara alam, sedangkan dalam filsafat Tuhan hanya sebagai sebab
awal dan tujuan segala wujud.
·
Tuhan personal
merupakan zat yang menciptakan alam semesta dan sangat berbeda dengan hasil
ciptaan-Nya sehingga perlu disembah, sedangkan Tuhan impersonal tidak perlu
disembah karena merupakan hasil ede manusia.
·
Tuhan personal
adalah pencipta alam semesta, sedangkan Tuhan impersonal merupakan sebab atau
sumber terjadinya alam semesta
2. Masalah Manusia
Manusia termasuk makhluk yang sangat
kompleks dan unik, sehingga pembahasan tentang manusia hingga kini belum juga
tuntas. Manusia memang merupkan suatu obyek penyelidikan yang berharga, karena
ia menyelidiki dirinya sendiri dan pikirannya dikacaukan oleh dirinya sendiri.
Ini berarti bahwa manusia mempersoalkan dirinya sendiri. Dari berbagai
pemikiran dan penganalisaan serta penyelidikan tentang manusia akhirnya
melahirkan disiplin ilmu seperti antropologi, psikolog dan sosiologi. Dalam
pengkajian filsafat antropologi membahas hakikat manusia yang menyangkut
tentang apa, dari mana dan akan kemana atau untuk apa manusia. Pemikiran tentang
masalah manusia ini pada gilirannya melahrikan beberapa aliran, seperti antara
lain materialisme, idealisme, dualisme.[18][18]
Menurut materialisme (juga disebut
naturalisme) hakikat manusia adalah materi, yakni apa yang kelihatan atau
realitas. Rohani manusia memang ada, akan tetapi bukan hakikat. Kepuasan dan
kebahagiaan manusia terletak pada badan atau fisik, maka jika badan hancur
karena mencuti atau mempertahankan kebenaran selesailah manusia itu, sedangkan
ruhnya hilang tidak karuan dan berpisah bersama badan. Tentu saja dalam hal ini
tidak ada surga dan neraka. Dengan demikian mati merupakan hal yang sangat
sederhana, karena tidak ada risiko bagi jiwa atau ruh. Idealisme justru
berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa hakikat manusia adalah rohnya. Paham ini
akan berujung pada masalah Tuhan, Surga dan Neraka.
Asal manusia menurut materialisme
adalah materi, sedangkan menurut idealisme berasal dari hidup manusia berasl
dari Yang Hidup (Tuhan). Adapun tujuan hidup manusia menurut materialisme mati
adalah hal yang sangat sederhana dan tidak perlu dirisaukan sedangkan dalam
pandangan idealisme mati adalah kelanjutan dari kehidupan di dunia. Aliran
dualisme mengatakan bahwa manusia terdiri dari dua unsur, yaitu matarial dan
imaterial, jasad dan jiwa. Keduanya sama-sama hakikat, karena itu materi
(jasad) tidak muncul dari imateri (roh / jiwa) dan imateri (jiwa) bukan pula
muncul dari materi (jasad). Adapun aliran dualisme menyatakan bahwa hakikat
manusia adalah tercakup kepada dua unsur jasmani dan rohaninya, disebut manusia
yang sebenarnya adalah ketika meliputi kedua unsur itu. Oleh karena itu,
menurut aliran ini kebutuhan manusia yang menyangkut jasmaniyan maupun
ruhaniyah harus sama-sama dipenuhi agar keduanya sama-sama memperoleh
kesejahteraan dalam hidupnya.
2.1. Hubungan Jiwa dan Raga
Meskipun ketiga aliran tersebut berbeda
padangan dalam menentukan hakikat manusia, namun pada dasarnya mereka sepakat
bahwa manusia terdiri dari unsur jiwa dan raga. Yang menjadi persoalan
selanjutnya adalah sampai di mana hubungan antara jiwa dan raga pada manusia.
Berikut ini uraian singkat tentang jawaban dari persoalan tersebut, dan kita
terlebih dahulu mulai dari pembahasan masalah jiwa.[19][19]
Ada tiga klasifikasi yang tepat tentang
teori jiwa (mind), yaitu :
1) Teori yang
memandang jiwa sebagai substansi yang berjenis khusus, yakni yang
dilawankan dengan material. Teori ini dikembangkan oleh Sigmund Frued, dia
mengatakan bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga bidang, yaitu id, ego
dan superego. Id adalah nafsu yang terdapat jauh di bawah sadar (nafsu
bawaan dan nafsu seksual (kelamin/libido)). Sedangka ego atau aku adalah jenis
jiwa semacam perantara yang terdapat di antara nafsu-nafsu di dalam id dengan
dunia luar yang terdiri dari material serta kemasyarakatan. Ego ini juga
meliputi proses-proses akali jiwa manusia yang memilih sarana-sarana yang dapat
digunakan untuk menjelmakan nafsu-nafsu tersebut. Adapun superego adalah jiwa
yang setelah mengalami kemajuan dalam kehidupan, ia tidak hanya berhasil
mengembangkan cara-cara untuk menghadapi kenyataan, melainkan melalui
masyarakat ia juga telah menetapkan seperangkat kaidah dan cita-cita yang
merupakan bagian dari segi kehidupan kejiwaan manusia
2) Teori yang
memandang jiwa sebagai sejenis kemampuan; semacam pelaku atau pengaruh
dalam berbagai kegiatan. Menurut Joseph A. Leihton jiwa itu bersifat
trans-spasila (mengatasi segenap ruang), dalam arti bahwa jiwa merupakan
pemersatu yang sadar dan pusat ketegangan pengalaman ragawi. Untuk menjelaskan
hal ini dapat dilihat dari sejumlah proses kejiwaan berikut. Rasa sakit itu
bertempat pada bagian raga dan dapat meliputi suatu lingkungan yang lebih besar
atau lebih kecil. Bagi seorang ahli ilmu jiwa sesungguhnya rasa sakit tidak
terdapat di tempat yang dirasakan sakit, melainkan terdapat pada jiwa. Tentu
saja yang dimaksudkan adalah rangsangan tadi melalui syaraf yang kemudian
dilanjutkan ke jiwa sebagai penerima rangsangan terakhir yang membuahkan rasa
sakit. Dapat juga dipahami bahwa jiwa seakan-akan mengembang ke bagian raga
yang terasa sakit, sehingga rasa sakit itu dikatakan terdapat di situ karena
jiwa juga terdapat di situ. Tafsiran inilah yang dimaksudkan oleh Leigton bahwa
jiwa manusia dapat mengembang dan merembisi bagian-bagian lain. Leighton
selanjutnya mengatkan bahwa jiwa manusia merupakan pusat hubungan-hubungan dan
mempunyai kemampuan mengendalikan, merembisi, mempersatukan dan mengarahkan
kembali ketegangan-ketegangan spasial (ruang dan waktu) yang terdapat dalam
lingkungan fisiknya. Kemampuan yang dipakai sabagai sarana melakukan hal
tersebut merupakan tenaga khas yang terjadi dalam berkehendak yang sifatnya
refleksi dapat menentukan pilihan. Di samping itu terdapat kegiatan jiwa yang
lain yaitu mengingat kembali. Melalui kegiatan ini seseorang dapat
mengendalikan hari depan dengan memanfaatkan hal-hal yang terdapat pada masa
silam. Dalam hal ini jiwa mengadakan pilihan yang sifatnya menyaring,
mengadakan analisa, sintesa dan mengingat kembali sehingga dapat membebaskan
dirinya dari keadaan yang semata-mata ditentukan oleh benda-benda jasmaniyah.
Inilah fungsi tertinggi yang dimiliki oleh jiwa. “Sesungguhnya jiwa
merupakan kesadaran organisme mengenai hubungan antara dirinya dengan hal-hal
lain yang sebenarnya atau yang bersifat kemungkinan di dalam kerangka suatu
sistem kenyataan yang dinamis” Demikian menurut Leighton. Jika tindakan
yang dilakukan seseorang berdasarkan pertimbangan akal, maka berarti dia
mengingat kembali masa lampau, meramalkan masa depan dan menyadari
keterlibatannya dalam akibat-akibat tindakan itu, akhirnya memilih untuk
melakukan sesuatu. Inilah fungsi-fungsi yang dimiliki oleh jiwa. Dengan
demikian pendirian Leighton adalah bahwa Jiwa tidak sama dengan raga, meskipun
yang satu tidak terpisahkan dengan yang lain. Jiwa merupakan sesuatu yang
hakiki untuk kehidupan dan kebahagiaan manusia.
3) Teori yang
memandang jiwa semata-mata sebagai sejenis proses yang tampak pada
organisme-organisme hidup. Teori ini dimunculkan oleh James B. Pratt. Dalam
bukunya berjudul Matter and Sprit Pratt menyebutkan bahwa untuk
menggambarkan ciri-ciri jiwa adalah dengan jalan melukiskan kegiatan apa yang
dilakukan oleh jiwa itu sendiri. Menurutnya jiwa adalah sesuatu yang mempunyai
cita-cita dan tujuan, berkehendak, menderita, berusaha dan mengetahui. Jiwa
menurutnya memiliki empat kemampuan, yaitu (1) kemampuan menghasilkn
kualitas-kualitas penginderaan, (2) kemampuan menghasilkan makna-makna yang
berasal dari penginderaan khusus, (3) kemampuan memberikan tanggapan terhadap
hasil peng-inderaan dan makna-makna dengan jalan merasakan, berkehendak atau
berusaha, dan (4) kemampuan memberikan tanggapan terhadap proses-proses tang
terjadi dalam benak untuk mengubah haluannya. Dan selain itu tidak ada suatu
hal pun yang mempunyai sifat seperti jiwa, yakni dapat mengingat,
berkecenderungan, merasakan, bertujuan dan bercita-cita.
Dalam hal ini Pratt menggunakan dua
macam ungkapan yang berbeda, yaitu “jiwa adalah apa yang dikerjakannya”, yang
berarti jiwa adalah suatu proses dan “jiwa menggunakan raga sebagai alat"
maksudnya adalah merupakan semacam kemampan. Dia mengakui bawa
hubungan-hubungan yang terdapat antara jiwa dan raga sangat berliku-liku,
sehingga sulit untuk mengtakan apakah jiwa atau raga. Tetapi kegiatan jiwa
dapat diselidiki hanya melalui pernyataan-pernyataan ragawi. Ini bermakna bahwa
pada manusia ada jiwa ada raga atau ada proses kejiwaan dan proses ragawi, dan
dengan suatu cara tertentu proses kejiwaan menggunakan proses ragawi sebagai
alatnya. Di sini jelas, Pratt bahwa penganut dualisme. Akan tetapi Partt juga
mengatakan bahwa jiwa sebagai proses tidak sama dengan raga sebagai
proses. Proses kejiwaan seperti ingatan, kehendak, pemikiran, dan
sebagainya (proses konatif dan kognitif) sama sekali berbeda dengan proses
ragawi seperti keceatan, dampak, gaya berat, dan sebagainya, namun sekaligus
menjadi petunjuk yang jelas adanya keadaan saling mempengaruhi antara
jiwa dan raga. Selanjutnya dia mengatakan bahwa cara untuk menyelidiki
proses-proses kejiwaan adalah melalui penjelmaan ragawi. Ini berarti dengan
suatu cara tertentu proses ragawi sesungguhnya merupakan penjelmaan proses
kejiwaan.
4) Teori yang
menumbuhkan pengertian jiwa dengan pengertian tingkah laku. Seorang ahli ilmu
jiwa Amerika bernama John Watson merumuskan sebuah teori yang disebut behaviorisme.
Pendirian ini mengatakan bahwa yang namanya jiwa atau bahkan kesadaran itu
sesungguhnya tidak ada, dan dia senantiasa menggunakan istilah-istilah tersebut
untuk menunjuk suatu macam tingkah laku. Sementara itu Y.H. Krikorian yang
menganut naturalisme mengembangkan teori jiwa sebagai tingkah laku.
Menurut Krikorian bahwa apabila seseorang mengatakan sesuatu yang di dalamnya
terdapat kata “jiwa”, maka yang ditunjuk adalah suatu jenis tingkah laku.
Karena pada dasarnya setiap pengamatan tentang jiwa seseorang senantiasa
memperhatikan tingkah laku orang yang bersangkutan. Sehubungan satu-satunya
pendekatan tentang hal itu adalah penelitian mengenai tingkah laku, maka
menurut Krikorian, pasti dapat dipahami bahwa jiwa didefinisikan sebagai
sejenis respon. Akan tetapi tidak setiap respon bersifat kejiwaan, seperti
misalnya bernafas responnya adalah berupa oksidasi. Jelas ini bukan
merupakan respon kejiwaan, meskipun seandainya pernafasan itu terjadi di bawah
pengendalian pusat-pusat otak manusia. Begitu pula dengan gerakan refleks tidak
ada yang bersifat kejiwaan, karena respon yang terjadi tidak sampai pada
tingkatan jiwa, melainkan tetap bersifat mekanis atau kimiawi.
Krikorian selanjutnya mengatakan bahwa
jika ada respon yang dikatakan bersifat kejiwaan, maka terdapat suatu reaksi
yang bukan hanya ditujukan terhadap rangsangan sebagai obyeknya, melainkan juga
kepada makna rangsangan tersebut. Respon terhadap akibat-akibat yang sudah
diramalkan sebelumnya berbeda dengan respon yang diakibatkan misalnya ketukan
pada lutut. Dalam kaitan ini sesungguhnya jiwa ialah respon yang telah
diramalkan sebelumnya. Menurut Krikorian ada tiga matra (fungsi atau corak
kegiatan) respon yang telah diramalkan sebelumnya: (1) kemampuan menggunakan
sarana dalam mencapai tujuan, yaitu daya pemahaman atau kemampuan memperoleh
pengetahuan, (2) kemampuan mengejar tujuan yang telah dibayangkan, yakni
kemampuan berkehendak atau menaruh perhatian, dan (3) kemampuan memperoleh
pengetahuan mengenai jiwa, yaitu kesadaran.
Louis O. Kattsoff tidak memandang jiwa
sebagai sesuatu yang khusus atau merupakan sesuatu proses atau yang lainnya.
Namun demikian, apapun hakikat jiwa itu, sudah pasti ada kaitannya dengan jenis-jenis
proses tertentu, sebab yang dinamakan jiwa itu ialah sesuatu yang orang lain
tidak dapat menunjukkannya. Tidak ada seorangpun yang pernah atau dapat melihat
jiwa, kecuali apabila jiwa itu diberi arti sama dengan benak atau daya fikir
dan sebagainya. Selanjutnya Kattsoff mengatakan bahwa ada dua proses kejiwaan,
yaitu proses konatif dan proses kognitif. Proses-proses konatif
meliputi proses yang bersumber pada perasaan, kehendak dan dorongan hati
(proses yang dapat menggerakkan seseorang). Para ahli ilmu pada umumnya
mengatakan bahwa proses-proses tersebut erat hubungannya dan sederajat dengan
proses kimiawi dalam tubuh manusia. Adapun proses kognitif proses kejiwaan yang
berhubungan dengan cara memperoleh pengetahuan, seperti berfikir, mgningat-ingat,
serta melakukan penalaran dan pencerapan (perhatian).
Kegiatan konatif dan kegiatan kognitif
itu berbeda, namun umumnya dapat dikatakan bahwa keduanya saling berhubungan.
Umpamanya, pengaruh emosi terhadap masalah pengetahuan jelas nampak pada kesaksian-kesaksian
yang diberikan seorang saksi. Seorang hakim secara pribadi terlihat dalam suatu
perkara yang harus diputuskannya tidak layak untuk bertindak sebagai hakim.
Sebaliknya bisa saja terjadi bahwa pengetahuan dapat mempengaruhi perasaan,
seperti seorang yang mempunyai pengetahuan bahwa kemarahan dapat mengganggu
proses pencernaan makanan tidak akan membiarkan dirinya menjadi marah. Seseorang yang mengetahui bahwa prajurit yang
tidak bringas akan bertempur dengan lebih mahir, dapat menjadikan dia sendiri
akan berusaha keras untuk tetap tenang dalam suatu peperangan.
Dalam membicarakan masalah hubungan
antara jiwa dan raga, ada beberapa hal menonjol dari uraian tersebut, terdapat
persoalan yang harus diselesaikan, yaitu apakah jiwa merupakan fungsi raga atau
raga merupakan fingsi jiwa, atau apakah jiwa dan raga merupakan bagian dari
suatu jenis ketiga ?. Di antara kemungkinan yang pertama dianut oleh idealisme,
yang kedua dianut oleh materalisme dan yang ketiga dianut oleh monisme
netral. Ada sejumlah istilah yang acap kali dihubungkan dengan penyelesaian
masalah hubungan jiwa dan raga tersebut, yaitu :
a) Epifenomnalisme. Paham ini
mengatakan bahwa satu-satunya unsure yang didapati apabila menyelidiki proses
kejiwaan ialah syaraf. Kesadaran manusia sekedar merupakan hasil dari proses
syaraf. Hal itu diibaratkan seperti hubungan nyala cahaya dngan panasnya pijat
bola lampu listrik. Kalimat jiwa
merupakan proses-proses syaraf dengan jiwa
merupakan hasil sampingan dari proses syaraf berbeda makna. Ini sama dengan
bedanya kalimat cahaya itu listrik
dan cahaya merupakan akibat dari arus
listrik.
b) Interaksionisme.
Paham ini
mengatakan bahwa jiwa dan raga memang berbeda, namun yang satu mempengaruhi
yang lain secara timbal baik. Teori yang mendasarkan diri atas akal sehat,
sebagian besar menyetujui paham ini. Descartes beranggapan bahwa hakikat jiwa
adalah pemikiran sedangkan hakikat materi adalah eksistensi.
Walaupun yang satu berbeda dengan yang lain tapi keduanya saling mempengaruhi.
c) Paralelisme
Psikofisik, yang mengatakan bahwa ada dua macam sistem kejadian, yang bersifat ragawi
dan yang bersifat kejiwaan. Sistem kejadian ragawi terdapat pada alam sedangkan
kejadian kejiwaan terdapat pada jiwa manusia. Kedua sistem kejadian ini tidak
ada hubungan kausalitas. Menurut ajaran Spinoza dalam bukunya Etika
bahwa antara kejadian yang terdapat dalam kedua sistem itu nampak saling
hubungan, sederajat dan berpasang-pasangan, maka tanmpaknya terjadi suatu
interaksi dari keduanya. Bagaaimana cara terjadinya paralelisme tersebut,
menurutnya adalah memang sudah dibuat oleh Tuhan.
Menurut Pythagoras keabadian jiwa manusia dan
perpindahannya ke dalam jasad hewan apabila mereka telah mati, dan jika hewan
itu mati akan berpindah lagi ke jasad lainnya, demikian seterusnya. Perpindahan
jiwa yang demikian itu merupakan suatu proses penyucian jiwa. Jiwa itu akan
kembali ke tempat asalnya di langit apabila proese penyucian telah selesai.
Untuk membebaskan jiwa dari perpindahan itu, manausia harus berpantang terhadap
jenis makanan tertentu, taat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku dalam
lingkungan persekutuan pythagorean serta bermusik dan berfilsafat.
Demokritos (460-370 SM) mengajarkan bahwa manusia adalah
materi. Jiwa pun materi yang terdiri dari atom-atom khusus yang bundar, halus
dan licin, oleh sebab itu tidak saling mengait satu sama lain. Dengan demikiran
atom jiwa gampang menempatkan diri di antara atom-atom lainnya dan menyebar ke
seluruh tubuh manusia. Sementara Plato (428-348 SM) mengajarkan bahwa manusia
terdiri dari tubuh dan jiwa. Tubuh merupakan musuh jiwa. Karena tubuh penuh
dengan berbagai kejahatan dan jiwa berada di dalamnya, maka tubuh menjadi
penjara bagi jiwa. Jiwa manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu nous (akal), thumos (semangat) dan ephitumia
(nafsu). Karena pengaruh nafsu, jiwa manusia terpenjara dalam tubuh.
Aristoteles (384-322 SM) menyatakan bahwa manusia
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tubuh dan jiwa hanya merupakan
dua segi dari manusia yang satu. Tubuh adalah materi dan jiwa adalah bentuk.
Manusia merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, maka konsekwensinya
adalah pada saat manusia mati, tubuh dan jiwa sama-sama mati. Ini berarti bahwa
jiwa manusia tidak kekal abadi. Dengan kata lain, sama sekali tidak ada
kehidupan sesudah kematian. Kematian adalah akhir dari segala-galanya.
Sedangkan dualisme Descartes (1596-1650) menegaskan bahwa tubuh dan jiwa adalah
dua hal yang sangat berbeda dan harus dipisahkan. Tubuh adalah suatu mesin yang
terdiri dari bagian-bagiannya yang begitu kompleks. Adapun jiwa adalah sesuatu
yang tidak terbagi, tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, ditandai oleh
kegiatan rohani, seperti berfikir, berkehendak dan sebagaianya. Kendati berbeda
dan terpisah, tubuh dan jiwa itu memiliki pertautan yang erat satu sama
lainnya, bagaikan kapal dan juru mudinya.
Goerge Berkeley (1685-1753) berpendapat
bahwa jiwa manusia adalah pusat segala realitas yang nampak. Penolakannya
terhadap materi menunjukkan bahwa Berkeley adalah seorang spritualis. Akan
tetapi, idealisme subyektif spritualis Berkeley tidak berpangkal pada yang
abstrak, melainkan pada yang konkret, yang diperoleh lewat pengamatan inderawi.
Sesuatu itu dikatakan ada karena dapat dilihat dan dirasakan. Jadi, kebenaran
sesuatu itu tergantung pada yang melihat dan yang merasa. Yang melihat dan yang
merasa itu adalah yang hadir dalam tubuh manusia, yaitu roh. Tubuh tidak lebih dari tanda
kehadiran roh. Sebaliknya, Feuerbach (seorang materialis yang menyangkal
segi rohani manusia) mengajarkan bahwa di balik alam tidak ada Tuhan. Demikian
pula di balik tubuh tidak ada jiwa. Feuerbach sendiri tidak mau menyebutkan
ajarannya sebagai materialisme, melainkan organisme.
Dia menyatakan bahwa manusia bukan mesin seperti yang diajarkan oleh
materialisme. Feuerbach menolak materialisme dengan mengajarkan bahwa manusia
adalah makhluk hidup yang organis,
oleh karenanya mereka selalu berhubungan secara konkret dengan sesamanya (jan
Hendrik Rapar, 2001 : 50-51).
Kemajuan ilmu jiwa (psikologi) dan ilmu
kedokteran dewasa ini menunjukkan bahwa jiwa berpengaruh terhadap raga.
Proses-proses kejiwaan mempengaruhi proses yang semata-mata bersifat ragawi.
Begitulah emosi berpengaruh terhadap pencernaan makanan dan amarah menimbulkan
kegiatan-kegiatan kelenjar. Suara musik dapat menggerakkan emosi; sementara itu
kurang makan yang berkepanjangan akan mengakibatkan mundurnya hasrat seksual.
Juga telah diketahui bahwa derajat kesembuhan dalam sejumlah penyakit tertentu
dapat dipengaruhi oleh sikap kejiwaan dari mereka yang sakit. Bahkan ada bukti
yang menunjukkan bahwa derajat pertumbuhan ragawi seorang anak tergantung pada
suasana emosional di mana ia hidup. Penyelidikan juga banyak dilakukan dalam
upaya menarik suatu hubungan antara kualitas fisik dengan sifat kejiwaan
seseorang. Kita juga mengetahui bahwa ada hubungan yang sangat erat antara
gangguan-gangguan pada kelenjar dengan pertumbuhan seseorang. Penyelidikan
mengenai hubungan antara jiwa dengan raga itu dalam istilah ilmuan modern
disebut “Psikosomatika”. Dengan demikian cukup jelas bahwa jiwa dan raga
memang bertautan dalam batas-batas tertentu.
2.2. Manusia Sebagai
Makhluk Berfikir
Berbeda dengan makhluk lain, manusia mempunyai ciri
istimewa yaitu kemampuan berfikir yang ada dalam satu struktur dengan perasaan
dan kehendak. Aristoteles memberikan identitas kepada manusia sebagai “animal rationale”, yakni binatang
berfikir. Lalu apa yang dipikirkan?, mengapa harus berfikir?, bagaimana
pemikirannya itu? dan untuk apa dia berfikir?.
Mengenai apa yang dipikirkan adalah terpusat pada diri
sendiri, dalam hal asal mulanya, keberadaannya dan tujuan akhir hidupnya. Pada
saat manusia masih kecil, ia baru bisa melihat dan mengenal apa yang ada di
sekelilingnya secara reseptif, seperti makanan, minuman, pakaian, dan
benda-benda lainnya. Selanjutnya ia mengenal ayah dan ibunya, saudaranya dan
orang lain dalam hubungan yang semakin jauh. Selanjutnya, berkat perkembangan
alam pikiran dan kesadarannya, ia mulai mengenal makna sesuatu itu secara kritis, yang kemudian fungsi dan
keterikatan antara satu dengan yang lainnya. Akhirnya sesensi dan eksistensi
setiap hal itu menjadi semakin jelas. Pengenalannya itu kemudian berkembang
menjadi semakin kreatif. Dalam
keadaan seperti itu manusia sudah bisa mengadakan makanan, minuman dan
barang-barang kebutuhan yang lain dengan memanfaatkan sumber daya alam
sekitarnya bahkan sudah mulai bisa menciptakan kelompok-kelompok sosial yang
baru.
Dengan pemikiran yang kritis dan kreatif tersebut,
manusia mulai memikirkan dirinya sendiri, yakni hakikatnya sebagai manusia.
Dari pemahaman tentang hakikat pribadinya ini, manusia lalu sadar akan adanya
berbagai macam persoalan hidup yang justru bersumber dari kebutuhan dan
kepentingan yang harus dipenuhi oleh setiap unsur hakikat pribadinya itu.
Kemudian dia sadar pula akan perlunya pemecahan berbagai masalah atau persoalan
tersebut demi tercapainya tujuan hidupnya. Untuk itu dia berusaha meningkatkan
kualitas pemikirannya dari yang mistis-religius
menuju ke ontologis-kefilsafatan
sampai kepada tarap yang paling konkret-fungsional
(Suparlan Suhartono, 2004 : 39).
Pemikiran yang mistis-religius
– yang berarti juga pemikrian resepti – adalah menerima segala sesuatu sebagai
kondrat Tuhan, yang manusia tidak mungkin dan tidak perlu mengubah-nya.
Misalnya jika seorang nelayan kembali dengan perahu kosong, hal ini tidak perlu
menjadi suatu derita, akrena Tuhan memang menghendaki demikian, dan dia harus
menerima adanya. Adapun pemikiran yang konkret-fungsional
(teknologis) bermakna bahwa dalam pemikiran itu mengandung suatu terobosan
baru, yaitu adanya kreativitas penciptaan teknologi yang sedemi-kian rupa
sehingga orang tidak harus mengikuti hukum alam, melainkan justru bagaimana hukum alam itu bisa dilampaui. Dengan
demikian, para nelayan tidak harus bergantung kepada arah angin, karena dengan
pemikiran yang konkret-fungsional ini nelayan bisa menggunakan perangkat
teknologi berupa perahu bermotor yang lengkap peralatannya, sehingga mereka
lebih produktif lagi.
Pemikiran yang konkret-fungsional (teknologis) ini sudah
berkembang sampai ke taraf sosial budaya. Jalinan hubungan dengan sesama
manusia telah berubah menjadi praktis, pragmatis dan serba terbatas menurut
tingkat keperluan minimal. Nilai kegunaan bagi diri pribadi sudah menjadi
ukuran utama. Dari pola pemikiran itu, yang sebenarnya saudara bisa menjadi
orang lain dan orang lain bisa menjadi saudara, tergantung kepada seberapa besar
manfaat yang dapat diperoleh. Komunikasi dengan orangtua misalnya, cukup dengan
pesawat telepon saja, karena waktu luangnya lebih banyak dipergunakan untuk
keperluan yang lebih menguntungkan. Orang sudah tidak peduli lagi siapa
pemimpinnya, apakah keturunan dewata atau manusia biasa, yang paling penting
adalah bisa memberikan manfaat bagi dirinya. Masyarakat sudah tidak dipandang
sebagai tujuan, malainkan alat bagi tujuan-tujuan individual. Oleh karena itu
berbagai rekayasa sistem sosial dikembangkan secara radikal demi kemudahan
tercapainya tujuan individual tersebut. Masyarakat dirombak, dibangun dan
dipacu ke arah berbagai produktivitas yang bermanfaat secar praktis dan
pragmatis.
Demikian pula terhadap dirinya sendiri, manusia mulai
bersikap teknis, sudah mulai memfungsikan diri sepragmatis mungkin demi dirinya
sendiri. Untuk itu ia mengatur dirinya menurut jadwal yang ketat dalam catatan
hariannya, dan berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhinya. Intuisi, perasaan
dan kehendaknya ditekan dan hanya mengikuti berbagai pikiran rasional belaka.
Tatacara makan, minum dan berpakaian sudah ditinggalkan, dan hanya mengutamakan
segi kesehatan belaka. Tatacara berbicara dan bertingkah laku sudah beralih
menjadi semakin praktis dan sedapt mungkin cepat dimengerti, seolah tidak
memerlukan aturan atau etika lagi. Bahkan bagaimana manusia harus berhubugan
Tuhan juga sudah diwarnai oleh pemikiran konkret-fungsional (teknologis) ini.
Sholat dan ibadah lainnya tidak lagi dilakukan karena panggilan hati nurani
(agama) melainkan karena perhitungan-perhitungan rasional, misalnya untuk
memperoleh kewibaan, simpati, sanjungan, penghargaan dari masyarakat dan
sebagainya. Agama tidak lagi tumbuh dan berkembang di dan dari dalam dada,
melainkan sebagai dekorasi badan agar orang lain selalu menghormati dirinya.
Dengan demikian perkembangan pemikiran manusia yang
semakin fungsional-teknologis itu sudah mulai memperlihatkan bahaya-bahayanya.
Dari sekarang, orang seharusnya mulai sadar bahwa pemikiran-pemikrian
ontologis-kefilsafatan dan mitodologis-keagamaan bukannya sama sekali tidak
berguna, melainkan perlu dipertimbangkan nilai-nilai minimalnya sehingga mampu
meluruskan pembelokan-pembelokan pemikiran yang fungsional-teknologis itu.
Perlu diingat bahwa sebenarnya ketiga corak pemikiran itu ada bersama-sama
dalam satu sistem watak dinamika pemikiran manusia, karena ketiga corak
pemikrian itu berada dalam hubungan sebab akibat, maka tidaklah mungkin suatu
sebab tanpa akibat tertentu dan akibat tanpa sebab tertentu. Dalam segala macam
jenis dan bentuk pemikiran pasti mengandung ketiga sifat pemikrian
(mistis-religius, ontologis-kefilsafatan dan konkret-fungsional) tersebut.
Karena itu pemikiran boleh berkembang sefungsional mungkin, tetapi tidak harus
meninggalkan sama sekali watak ontologis dan yang mitologis-keagamaan itu.
Jadi, mengapa dan untuk apa manusia berpikir sedemikian?.
Jawaban yang pasti adalah untuk mencapai tujuan hidupnya. Adapun tujuan hidup
manusia itu ada yang langsung dan ada yang tidak langsung. Yang langsung adalah
tujuan yang harus dipenuhi selama hidupnya di dunia ini, seperti kecukupan
makan, minum, sandang, perumahan dan segala peralatan hidup.
3. Masalah
Alam
Dalam arti luas, yang dinamakan alam
adalah hal-hal atau sesuatu yang ada di sekitar kita dan yang dapat diserap
secara inderawi. Secara lebih cermat, istilah “alam” dapat dipakai untuk
menunjuk lingkungan obyek-obyek yang terdapat dalam ruang dan waktu. Tetapi pada
aneka zaman pandangan orang mengenai alam dapat berbeda-beda. Berikut di antara
beberapa pandangan manusia terhadap alam.[20][20]
3.1. Pandangan Para Filsuf Yunani Kuno
Para tokoh filsafat masa Yunani kuno
yang menaruh perhatian sekaligus mempermasalahkan alam adalah Thales (630–546
SM), Anaximander (pertengahan abad 6 SM), Anaximenes (550 SM), Plato (427–347
SM) dan Aristoteles (384–322 SM). Yang menjadi persoalan mereka adalah “apakah
substansi asli dari alam dengan berbagai perubahannya itu, darimana asal usul
alam dan zat apa yang menjadi dasarnya?. Thales mengatakan bahwa itu semua
adalah air, sementara Anaximandres mengataka udara, dan menurut
Anaximenes berasal dari apeiron (sesuatu yang tidak terbagi atau setara
dengan Tuhan), sedangkan Empidokles berpendapat bahwa alam terdiri dari empat
unsur pokok yakni air, udara, api dan tanah. Plato dan
Aristoteles mengemukakan pendapat yang sudah sampai pada pemikiran mengenai
suatu realitas di luar alam, yaitu zat yang berbeda dengan alam, bersifat
immateri, abadi, esa dan sempurna. Plato menyebut zat itu Idea Kebaikan
dan Aristoteles menamakan Sebab Utama atau Penggerak Yang Tidak
Bergerak.[21][21]
Plato mengatakan bahwa dunia atau alam
ini diciptakan menurut suatu bentuk tertentu yang bersifat abadi dan tidak
berubah. Maksudnya, bentuk-bentuk tersebut merupakan salah satu di antara
unsur-unsur terdalam yang menyebabkan terciptanya dunia. Sungguhpun demikian,
dunia atau alam ini tidak hanya tercipta oleh bentuk-bentuk belaka
melainkan juga memasukkannya ke dalam sesuatu yang telah sama-sama ada, yang
oleh Plato dinamakan wadah atau dalam istilah lain ruang. Dengan
demikian pada dasarnya alam ini terbuat dari Ruang dan Bentuk.
Kemudian, Aristoteles dalam teori atau ajaran mengenai kosmologi (yang masih
erat hubungannya dengan kosmologi ajaran Plato) tidak membahas masalah
penciptaan, melainkan memberikan gambaran mengenai apakah yang dinamakan kenyataan.
Hal-hal yang bersifat nyata dan yang sungguh-sungguh bereksistensi o;eh
Aristoteles dinamakan substansi. Bagi Aristoteles istilah “alam”
menunjuk kepada prinsip pertumbuhan, pengaturan dan gerakan yang terdapat dalam
segala hal atau sesuatu. Oleh karena itu sesuatu hal dapat dikatakan alami
apabila telah memiliki prinsip semacam itu. Dengan demikian alam kodrat
merupakan suatu keadaan yang di dalamnya senantiasa terjadi perubahan-perubahan
melalui cara tertentu. Dengan kata lain bahwa perubahan-perubahan yang terjadi
dalam alam kodrat pada dasarnya bersifat teleologis (berarah tujuan).
Dan yang menjadi ciri khas alam kodrat bukanlah keadaannya yang tetap mealinkan
gerakan, karena alam kodrat senantiasa mengalami perubahan dan pertumbuhan,
yang senantiasa terarah kepada suatu tujuan tertentu. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa alam kodrat terkena hukum perkembangan, dan bukan sekedar
merupakan hasil proses mekanis.[22][22]
Pandangan
Pada Masa Renassance
Para filsuf di masa renaissance (zaman
modern) ini dapat disebukan antara lain adalah Copernicus (1473-1543), Bruno
(1658-1600), Kapler (157101639), Galileo (1564-1641) dan Newton (1642-1727).
Hasil terakhir dari karya-karya mereka adalah penolakan atas gagasan mengenai
alam yang digambarkan sebagai organisme yang berhingga dan yang teleologis,
mereka memandang alam sebagai sesuatu yang tidak berhingga yang menyerupai
mesin (mekanik) dan tidak berjiwa.
Dengan menetapkan berlakunya teori heliosentris
(matahari merupakan pusat gerakan planet-planet), Copernicus secara tidak
langsung menunjukkan bahwa segenap bagian dari angkasa sesungguhnya mempunyai kualitas
yang sama. Tidak terdapat perbedaan kualitas antara bumi dengan benda-benda
angkasa, dan hukum-hukum gerakan berlaku di mana saja dalam lingkungan alam
semesta. Sementara Bruno memahamkan alam semesta sebagai sesuatu yang tidak
berhingga, yang terhampar secara tidak menentu di dalam ruang dan membayangkan
adanya manusia-manusia yang mendiami dunia yang tidak terhitung jumlahnya, yang
kesemuaanya itu bergerak berdaarkan hukum-hukum yang sama. Sedangkan Kepler
dalam hal ini menolak ajaran gerakan alami, dan menampilkan prinsip kelambanan
yaitu prinsip yang mengatakan bahwa sebuah benda cenderung untuk diam atau
bergerak di tempat ia berada, kecuali apabila ia dipengaruhi oleh suatu benda
yang lain yang terdapat di sekitarnya. Kepler mengajarkan tentang tenaga
mekanis yang menghasilkan perubahan-perubahan kuantitatif. Adapun Galileo
mengembalikan segala sesuatu kepada pengertian-pengertian matematik. Alam
hendaknya diselidiki dengan jalan menggunakan matematika, karena segenap
kenyataan pasti bersifat kuantitatif dan dapat diukur. Yang dinamakn
kualitas-kualitas sesungguhnya merupakan sekedar bagian lahiriyah yang menampak
pada barang sesuatu, yang dihasilkan dalam diri kita oleh proses yang terdapat
dalam benda-benda alami yang kemudian ditangkap oleh alat-alat inderawi. Pada
akhirnya Newton merangkum segenap pandangan tersebut dan menyusun buku yang
berjudul The Mathematical Principles of Natural Philosophy. Menurut
Newton alam merupakan sebuah mesin besar yang berjalan sesuai dengan
hukum-hukum gerakan dan segenap proses yang terdapat di dalamnya ditentukan
oleh massa, posisi dan kecepatan yang dimiliki oleh partikel-partikel materi
yang terdapat di dalamnya. Materi ini bersifat mati, dalam arti hanya mempunyai
sifat-sifat kuantitatif dan terdapat dalam dunia yang bersifat tidak berhingga
yang ciri pokoknya adalah adanya gerakan.[23][23]
Karena hasil terakhir pada masa
renaissance berpendapat bahwa alam merupakan mekanisme, maka pertanyaannya
adalah apakah yang dimaksud dengan
mekanisme tersebut?. Jika orang mengatakan bahwa arloji merupakan mekanisme
yang rumit atau bahwa mobil merupakan mesin, maka ini berarti karena arloji itu
berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip mekanika dan mesin mobil berfungsi
sebagai mekanisme. Jadi, apa yang tidak berjalan sesuati dengan prinsip
tersebut bukanlah mekanisme. Lonceng listrik merupakan mekanisme, tapi meja
yang dipakai untuk menulis sama sekali bukan mesin. Lalu apakah mesin itu ?.
Kamus Webster memberikan definisi bahwa
mesin adalah sebuah alat yang terdiri dari dua bagian atau lebih yang
berada dalam hubungan saling menekan, yang dapat digunakan untuk mengalihkan
serta mengubah tenaga dan gerakan begitu rupa sehingga dapat menghasilkan suatu
fungsi yang dikehendaki oleh manusia. Sedangkan mekanisme adalah sebagai
keseluruhan bagian dari mesin. Pengertian umum yang melekat pada istilah
mekanisme (atau mesin) adalah sesuatu yang berjalan menurut hukum-hukum
tertentu. Dengan demikian maka apabila dikatakan bahwa dunia sebagai mesin
berarti hukum-hukum mekanika berlaku bagi dunia, atau lebih tepat bahwa segenap
proses yang terdapat di dunia dapat diterangkan dengan menggunakan hukum-hukum
mekanika.
ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT
Sejarah perkembangan filsafar
berkembang atas dasar pemikiran kefilsafatan yang telah dibangun sejak abad ke
6 SM. Ada dua orang filsuf yang corak pemikirannya boleh dikatakan mewarnai
diskusi-diskusi filsafat sepanjang sejarah perkembangannnya, yaitu Herakleitos
(535-475 SM) dan Parmenides (540-475 SM). Menurut Herakleitos, realitas ini berupa gerakan, perubahan dan keadaan yang
serba menjadi. Semuanya serba mengalir (pantarhei).
Di dalam sejarah perkembangan filsafat, paham atau aliran ini disebut tobecome (filsafat menjadi). Kemudian,
pandangannya itu menjadi pedoman bagi pengetahuan yang benar atau kebenaran, di
mana pancaindera menjadi ukuran. Jadi, apa yang ditangkap indera, yaitu yang
konkret, yang satu persatu, yang selalu berubah dan menjadi adalah benar.
Sementara Parmenides berpendapat
sebaliknya, bahwa meskipun pengetahuan indera diakui adanya atau eksistensinya,
tetapi ia tidak mau mengakui kebenaran yang dicapainya. Sebab seringkali orang
tertipu oeh kesaksian indera. Dalam kenyataan konkret, kita sering menyaksikan
peristiwa-peristiwa alam seperti ilusi, halunisasi, fatamorgana, gema dan
sebagainya. Oleh karena itu Parmenides mengidentifikasikan pengetahuan menjadi
dua jenis : a) pengetahuan semu, yakni pengetahuan seperti yang diperoleh
pancaindera dan b) pengetahuan sejati, yaitu pengetahuan
yang dicapai oleh kemampuan akal budi. Menurutnya, pengetahuan sejati inilah
yang benar adanya. Karena pengetahuan akal budi mempunyai sifat yang tetap dan
umum (universal) maka realitas ini bukannya menjadi, melainkan yang ada. Yang
ada itu merupakan satu keutuhan, bukan pluralitas yang dapat dibagi-bagi. Paham
pemikiran Parmenides ini sungguh bertentangan secara mutlak dengan paham
Herkleitos.
Pada perkembangan selanjutnya dari
kedua aliran utama tersebut muncul berbagai aliran filsafat yang berusaha
menanggapi dan mengembangkannya. Aliran-aliran tersebut adalah :
1. Idealisme
: Plato (427-347 SM)
Pada zaman Plato masih hidup,
masalah yang paling populer adalah apakah hakikat realitas itu tetap (pendapat Parmenides) ataukah menjadi ([endapat Herkleitos) ?. Plato mengemukakan pendapatnya sebagai bentuk
penyelesaian, yaitu : “yang tetap” itu dapat dikenal melalui akal budi,
sedangkan “yang menjadi” dikenal dengan pengalaman. Di dalam pengalaman hidup
sehari-hari, kita mengenal banyak jenis manusia, ada yang lelaki dan ada yang
perempuan. Kelelakian dan keperempuannya pun berbeda-beda pula. Tetapi dunia
akal budi (idea) hanya mengenal satu
manusia saja, yang bersifat tetap dan tidak berubah. Dunia pengalaman disbut
sebagai “dunia semu” atau “dunia bayang-bayang”. Sedangkan dunia idea (akal budi) disebut sebagai “dunia
asli” atau dunia yang sesungguhnya. Jadi, manusia yang kita saksikan melalui
pengalaman ini yang jumlah dan jenisnya beraneka ragam merupakan bayang-bayang
dari manusia yang hanya ada satu di dunia idea
itu. Sedangkan mengenai pertanyaan “mengapa manusia yang beraneka ragam itu
ada” hal ini disebabkan karena perbedaan tentang caranya menjadi bayang-bayang
itu.
Melalui pancaindera kita bisa
mengenal manusia yang beranekaragam ini. Kemudian persoalan-nya adalah bagaimana
kita dapat mengenal dunia idea
sebagai realitas yang sesungguhnya? Plato berpendapat bahwa sebelum ada di
dunia pengalaman ini, manusia berada di dunia idea. Setalah berkumpul dengan badan, maka bertemulah ia dengan
bayang-bayang yang berasal dari dunia idea (bayang-bayang sendiri). Dari
pertemuan itu, ia teringat bahwa sebenarnya ia pernah mengenalnya. Jadi dengan
jalan mengingat maka dunia idea itu
dapat dikenal. Berdasarkan pandangannya itu, Plato sampai kepada ajaran etika.
Dia mengajarkan dalam etika bahwa siapa pun manusia itu harus mampu mencapai
pemahaman tentang dunia idea. Disebutkan bahwa idea tertinggi adalah idea
kebaikan. Dengan pemahaman tentang idea kebaikan ini, maka kebahagiaan hidup
dapat diharapkan. Orang dapat mencapai pemahaman idea kebaikan bila mampu
menyelami dunia pengalaman. Inilah yang kemudian dikenal sebagai ajaran
mengenal diri sendiri.
2. Realisme : Aristoteles (384-322 SM)
Berbeda dengan Plato, Aritoteles
lebih menerima yang serba berubah dan menjadi, yang beraneka ragam, yang
semuanya ada di dalam dunia pengalaman, sebagai realitas yang sesungguhnya.
Itulah sebabnya mengapa pandangan Aristoteles disebut sebagai realisme. Dia mengatakan bahwa setiap
hal atau benda tersusun dari hule dan
morfe, yang kemudian dikenal dengan “teori hulemorfistik”. Hule adalah dasar permacam-macaman.
Karena hule-nya maka suatu benda
adalah benda itu sendiri atau benda tertentu. Misalnya si A bukan si B karena hule-nya. Sedangkan morfe adalah dasar kesatuan yang menajdi inti dari segala sesuatu.
Karena morfe-nya maka segala sesuatu
itu sama dengan yang lain (satu inti) masuk ke dalam satu jenis yang sama. Morfe ini berbeda dengan hule, dan hanya dapat dikenal dengan
akal budi saja. Mislanya Ali, Ani dan Ahmad yang berbeda-beda itu berada di
salam morfe yang sama, yaitu sebagai manusia. Namun demikian, baik hule maupun
morfe merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan hule-nya segala
sesuatu itu wujud dalam realitas dan karena morfe-nya segala sesuatu itu
mengandung arti hakikat sebagai sesuatu.
Pandangan hulemorfisme
Aristoteles itu sejalan dengan teori aktus
dan potensia-nya. Aktus adalah dasar kesungguhan sedangkan
potensi adalah dasar kemungkinan.
Segala sesuatu itu sungguh-sungguh karena aktus-nya
dan mungkin (mengalami perubahan dinamis) karena potensi-nya. Jadi jika dipakai untuk memahami sesuatu yang konkret
maka hule merupakan potensinya, dan morfe adalah aktusnya.
Segala macam perubahan dan perkembangan (permacam-macaman atau keanekaragaman)
ini terjadi karena hule yang mengandung potensi dinamis yang bergerak menuju ke
bentuk-bentuk aktus yang murni. Sedangkan aktus
murni itu tidak mengandung potensi apa-apa, jadi bersifat tetap, tidak
berubah-ubah dan abadi.
Untuk mengetahui makna hakikat
setiap sesuatu maka Aristoteles mengembangkan teori pengetahuan dengan menempuh
jalan dengan “metode abstraksi’.
Menurutnya, pengetahuan itu ada dua jenis, yaitu pengetahuan indera dan pengetahuan
budi. Pengetahuan indera bertujuan untuk mencapai pengenalan tentang
hal-hal konkret yang bermacam-macam dan serba berubah. Adapun pengetahuan budi
bertujuan untuk mencpai sesuatu yang abstrak, umum dan tetap (abadi), dan
inilah yang kemudian oleh dia disebut sebagai ilmu pengetahuan.
Antara kedua jenis pengetahuan
tersebut ada satu kesatuan struktural. Obyek pengetahuan itu bermacam-macam dan
bersifat konkret. Karena itu selalu berada di dalam perubahan-perubahan dan
perbedaan-perbedaan. Obyek yang demikian itu dikenal oleh indera, untuk
kemudian diolah oleh akal budi. Akal budi bertugas mencari ide yang sama yang
terkandung di dalam keanekaragaman itu sebagai pengetahuan yang macamnya hanya
satu dan karena itu bersifat umum, tetap dan abstrak. Ide yang merupakan pengertian umum ada bersama-sama dengan
macam-macam hal yang konkret. Jadi idea itu ada di dalam realitas konkret.
Misalnya, di dalam realitas konkret ada bermacam-macam manusia, di dalamnya
terkandung kesamaan sebagai manusia, yaitu idea
manusia. Oleh sebab itu Aristoteles berbeda dengan Plato. Aristoteles menerima
baik permacam-macaman maupun idea kesamaan itu sebagai hal yang realistik
adanya, sedangkan Plato menolak permcaman itu sebagai kebenaran (yang
bermacam-macam itu semu atau bayangan) dan menerima dunia idea sebagai
kebenaran satu-satunya.
3. Stoisisme
: Zeno (300 SM)
Konon, tempat Zeno (300 SM)
memberikan pelajaran kepada murid-muridnya adalah di sebuah serambi bertiang
bernama Stao. Menurut Zeno alam
semesta ini berintikan logos atau rasio. Logos ini menentukan seluruh kejadian
dunia yang berlangsung menurut ketetapan yang pasti (tidak dapat dielakkan).
Agar manusia dapat hidup bahagia, maka seluruh tindakannya harus didasarkan
kepada kemampuan rasionya. Dengan rasio, manusia dapat mengenal tatanan universal
alam semesta. Dengan demikian, manusia akan dapat mengendalikan hawa nafsunya.
Untuk dapat mengendalikan hawa nafsu, orang harus memahami dan menyadari
dirinya sendiri bahwa diri manusia itu berada sepenuhnya di bawah hukum alam.
Ajaran Zeno dapat disistematiskan sebagai “sebidang
kebun” (filsafat), tanahnya merupakan “fisika”,
pagarnya adalah “logika” dan buahnya
adalah “etika”.
4. Epikurisme
: Epikuros (341-279 SM)
Mirip dengan Stoisisme, epikurisme
juga menekankan ajarannya pada ajaran etika. Orang harus hidup bijaksana dan
bahagia. Untuk itu, manusia harus mengakui susunan dunia, tidak perlu takut
mati, harus menggunakan kehendak yang bebas dan mencari kesenangan sebanyak
mungkin. Tetapi jika terlalu banyak kesenangan itu akan membuat sengsara. Oleh
karena itu orang perlu membatasi diri dengan mengutamakan kesenagan batin.
5. Neo-Platonisme
: Plotinus (205-270 M)
Aliran ini mencoba menghidupkan
kembali paham filsafat lainnya. Neo-Platonisme termasuk aliran yang bersifat monistik. Paham ini mengatakan bahwa
semuanya ini berasal dari “yang satu” (Tuhan) dan semuanya ini cenderung akan
kembali kepada-Nya. Antara “yang satu” dengan semuanya ini merupakan satu
kesatuan. Pada hakikatnya keduanya adalah satu dan sama. Dengan kata lain, segala
sesuatu ini berhakikat Tuhan, semuanya ini merupakan pancaran Tuhan. Karena itu
ajaran Plotinus disebut sebagai yang bersifat panteistik (serba Tuhan).
6. Skolastisisme
Skolastisisme merupakan aliran
filsafat yang mulai muncul di Eropa pada sekitar abad ke 5 sampai ke 13.
Munculnya aliran ini sebagai akibat dari ditutupnya pendidikan kefilsafatan
aliran Yunani kuno. Sementara itu agama Kristen tampil sebagai pengganti
kesenjangan kehidupan ruhani. Tetapi pada kenyataannya, agama Kristen tidak
sama sekali meninggalkan nilai-nilai kefilsafatan Yunani kuno, bahkan lahirlah
suatu perguruan yang di samping mengajarkan nilai-nilai agama juga mengajarkan
nilai-nilai kefilsafatan. Dari perguruan inilah lahir aliran kefilsafatan scholastic.
Skolastisisme mengembangkan ajaran
filsafat berdasarkan nilai-nilai agama Kristiani. Antara kemampuan akal budi
dan kebenaran wahyu tidak dipertentangkan, sebab jika akal budi secara terus
menerus dan konsisten, intensif dan efektif didayagunakan, maka pada akhirnya
pasti akan sampai juga pada kebenaran mutlak, seperti yang dijelaskan oleh
wahyu. Jadi, bolehlah dikatakan bahwa pemikrian kefilsafatan gaya skolastik ini
di bawah penerangan wahyu atau agama.Perkembangan skolastisisme ini didukung
oleh tokoh-tokoh antara lain : Anselmus (1033-1109), Abelardus (1079-1143),
Albertus Magnus (1203-1280) dan Thomas Aquinas (1225-1274). Ynag terakhir ini
adalah yang paling populer, sehingga melahirkan aliran bernama Thomisme. Dan
dia terkenal karena kemiripannya dengan filsafat Aristoteles.
7. Rasionalisme
Aliran ini memandang budi atau rasio
sebgai sumber dan pangkal dari segala pengertian dan pengetahuan, dan budilah
yang memegang tampuk pimpinan dalam segala bentuk “mengerti”. Kedaulatan rasio
diakui sepenuhnya, yang sama sekali menyisihkan pengetahuan indera. Sebab,
pengetahuan indera hanya menyesatkan saja. Dengan metode “keragu-raguan” pemikir Rene Descartes (1596-1650) ini mencapai
kepastian. Jika orang ragu-ragu, maka tampaklah bahwa ia berfikir dan juga
tampak dengan segera adanya sebab berefikir itu. Oleh karena itu dari metode
keraguan ini muncul kepastian tentang adanya diri sendiri. Dirumuskan olehnya
dengan istilah “ogitoergosum” yang
artinya “saya berfikir, saya ada”. Tokoh lainnya adalah Barouch Spinoza
(1632-167) dan Leibniz (1646-1716).
8. Empirisme
Aliran ini mengatakan bahwa bukanlah
budi yang menjadi sumber dan pangkal pengetahuan, melainkan indera atau
pengalaman. Aliran ini sealnjutnya memandang bahwa filsafat tidak ada gunanya
bagi hidup, yang berguna adalah ilmu yang diperoleh melalui indera atau
pengalaman dan hanya pengetahuan niliah yang pasti benar. Jadi jelaslah bahwa
umumnya aliran - yang merupakan lawan
rasionalisme - ini tidak mau berfilsafat. Tapi ada juga yang mau
berfilsafat dan mengadakan sistem, seperti Prancis Bacon (1210-1292),Thomas
Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704) dan David Hume (1711-1776). Jika
kaum rasionalis berpendapat bahwa manusia sejak lahir telah dikarunai idea oleh
Tuhan yang dinamakan ideainnatae (ide
terang benderang atau ide bawaan), maka pendapt kaum empiris berlawanan atau
sebaliknya, yakni bahwa sejak lahir jiwa manusia adalah tabularasa (putih bersih), tidak ada bekal dari siapapun berupa ideainnatae.
9. Kritisisme : Immanuel Kant
Immanuel Kant (1724-1804), seorang
filsuf Jerman, mencoba mengatasi pertikaian antara rasionalisme dan empirisme.
Dia mengatakan bahwa masing-masing aliran itu mamiliki kedaulatan tetapi jika
diberikan kedaulatan, masing-masing juga menemui kesulitan tersendiri. Pada
mulanya Kant mengakui rasionalisme, kemudian empirisme datang mempengaruhinya.
Dalam menghadapi empirisme ia tidak begitu saja menerimanya, karena tahu bahwa
empirisme membawa keragu-raguan terhadap budi. Pada satu pihak dia mengakui
kebenaran pengetahuan indera dan di sisi lain diakuinya pula bahwa budi pun
mampu mencapai kebenaran. Tetapi syarat-syaratnya harus dicari, yaitu dengan
menyelidiki atau mengkritik pengetahuan budi dan akan diterangkan apa sebabnya,
maka dari hal itulah pengetahuan itu menjadi mungkin. Itulah sebabnya mengapa
aliran Kant disebut Kritisisme.
Sedangkan cara-cara mengkompromisasikan antara kedaulatan
akal budi dengan pengalaman adalah sebagai berikut : “bagaimanapun fungsi akal
adalah yang pertama dan utama, namun akal harus mengakui persoalan-persoalan
yang ada di luar jangkauannnya. Pada
waktu akal tidak mampu meraih pengetahuan, di sinilah batas-batas di mana
ketentuan-ketentuan akal itu tidak beraku lagi, dan sejak itulah fungsi
pengalaman tempil sebagai suatu cara pencapaian pengetahuan”.
10. Idealisme
Ketidakpuasan terhadap paham
Immanuel Kant (kritisisme) justru
muncul dari murid-muridnya sendiri. Yang menjadi sumber ketidakpuasan mereka
adalah ungkapan Kant bahwa “akal manusia
tidak akan sampai pada realitas yang terdalam dan hanya akan sampai pada
pengetahuan tentang fenomena atau gejala-gejalan saja”. Para murid Kant
yang setia bahkan berbalik menyerangnya dan mereka akan bermetafisika mencari
suatu dasar perenungan mereka. Dari dasar itulah akan di bangun suatu sistem
metafisika. Mereka sangat memperhatikan kesadaran dan pengalaman yang dicari
dan didapat pada dasar tindakan. Hal itu adalah “aku” yang merupakan subyek yang se-konkret-kongkretnya. Dari suatu
dasar menelurkan kesimpulan dan kemudian memberi keterangan tentang keseluruhan
yang ada. Yang ada itulah yang disebut dengan liran idealisme. Karena aliran ini berdasarkan subyek, maka ada yang
menyebutnya idealisme subyektif. Tokohnya paling terkenal adalah J.O. Fichte
(1762-1814), FWJ. Schelling (1775-1854) dan GWF. Hegel (1770-1830)
Fichte mengakui dan memberikan
prioritas yang tinggi kepada aku
sehingga dikatakan bahwa aku adalah
satu-satunya realitas. Hal ini dapat dimengerti karena aku yang otomon dan merdeka
menempatkan diri menjadi sadar akan obyek yang dihadapi dan diatasi.
Perkembangannya terletak sepenuhnya pada hasil pengatasan obyek (bukan aku). Oleh karena itu nampaklah bahwa aku ini sebagai titik tolak pandangannya
dan merupakan kriteria terakhir dari kebenaran pengetahuan. Maka idealisme
Fichte ini nampak sangat subyektif.
Pandangan yang lebih jauh dan luas
tentang hal ini adalah sebagaimana dikemukakan oleh Schelling, yang mengakui
bahwa obyek (bukan aku) itu
sungguh-sungguh ada. Kalau Fichte mengatakan bahwa adanya obyek itu tergantung aku (subyek) atau obyek (bukan aku) itu
muncul dari subyek (aku), maka schelling tidak demikian. Dia mengatakan bahwa
aku (subyek) itu muncul dari alam (obyek / bukan aku) yang sungguh-sungguh ada.
Akan tetapi munculnya aku dari alam
adalah yang telah sadar. Jadi, nampak ada keserasian dengan pandangan Fichte.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa kedudukan budi dan alam adalah sederajat,
yaitu berhadapan sebagai subyek dan obyek. Sebenarnya keduanya muncul dari
Tuhan sebagai identitas yang mutlak. Alam yang muncul dari Tuhan semakin tinggi
derajatnya, dan budi yang juga muncul dari Tuhan akan menyadari dirinya lalu
menjelmakan ilmu, moral, sejarah, negara dan sebagainya. Oleh karena Schelling
mengakui adanya obyek sebagai realitas, maka idealismenya disebut idealisme obyektif.
Sementara itu idealisme Hegel
dikatakan sangat konsekuen, dan corak umum filsafatnya dikenal dengan
“dialektika”, yaitu tesis yang
menimbulkan antitesis dan membentuk sintetsis, dan sintesis ini sekaligus merupakan tesis baru yang menimbulkan
antitesis dan membentuk sitesis-sintesis baru, dan begitu seterusnya. Filsafat
Hegel mencari yang mutlak dan yang tidak mutlak. Yang mutlak adalah ruh (jiwa),
tetapi ruh itu menjelma pada alam, dan dengan demikian sadarlah akan dirinya.
Ruh adalah idea, yang artinya pikiran. Dalam sejarah kemanusiaan sadarlah ruh
itu akan dirinya dan kemanusiaan merupakan bagian dari idea yang mutlak, yakni
Tuhan sendiri. Dikatakan selanjutnya bahwa idea yang berfikir itu sebenarnya
adalah gerak yang menimbulkan gerak yang lain. Gerak ini mewujudkan suatu tesis
yang dengan sendirinya menimbulkan gerak yang berlawanan, yaitu antitesis.
Dengan tesis gerak yang mutlak kemudian muncul antitesis pada akhirnya
menimbulkan sintesis yang sekaligus merupakan tesis baru dan menimbulkan pula
antitesis dan sintetis baru, dan begitulah seterunya.
Jadi dari filsafat Hegel ini memberikan suatu kesimpulan
bahwa pada hakikatnya yang mutlak adalah gerak, bukannya sesuatu yang tetap dan
tidak berubah yang melatarbelakangi sesuatu hal. Proses gerak secara dialektik itu dapat berlaku pada segala
kejadian dan menurut hukum budi. Karena itulah Hegel datang pada kriterianya
bahwa semua yang masuk akal itu sunguh-sungguh ada dan apa yang sungguh-sungguh
ada itu dapat dipahami. Menurut rangkaian pemikiran Hegel, ada tiga cabang
filsafat, yaitu : a) logika atau filsafat tentang idea, b) filsafat alam (idea
yang menjelma pada alam) dan c) filsafat ruh (idea yang kembali pada diri
sendiri).
11. Positivisme
Di Perancis, orang mengalami suatu
revolusi yang hebat dengan ditandai dengan tumbangnya kedudukan wahyu dan
agama, diganti oleh tradisi sebagai pegangan dan kepastian pikiran. Aliran ini
disebut dengan tradisionalisme. Di
sisi lain muncul pula aliran baru bernama positivisme
yang di tokohi oleh August Comte (1798-1857). Menurut August Comte, jiwa dan
dan budi (akal) adalah basis dari teraturnya masyarakat. Karena itu, jiwa dan
budi harus mendapatkan pendidikan yang cukup dan matang. Dikatakan bahwa
sekarang ini sudah masanya hidup dengan mengabdi pada ilmu positif, yaitu
matematika, fisika, biologi dan ilmu kemasyarakatan. Adapun yang tidak positif
dapat dialami, dan sebaliknya orang akan bersikap tidak tahu menahu. Budi itu
mengalami ting tingkatan sebagai berikut :
· Tingkat
teologi, yang menerangkan segala sesuatunya
dengan pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi kodrat.
· Tingkat
metafisis, yang hendak menerangkan segala
sesuatu melalui abstraksi.
· Tingkat
positif, yang hanya memperhatikan yang
sungguh-sungguh dan sebab akibat yang sudah ditentukan.
Tokoh aliran positivisme antara lain
: H. Taine (1828-1893), yang mendasarkan positivismenya pada ilmu jiwa,
sejarah, politik dan kesusasteraan, Emile Dulkheim (1858-1917) yang menjadikan
positivisme sebagai asas sosiologis dan John Stuart Mill (1806-1873) yang
menggunakan sistim positivisme pada ilmu jiwa, logika dan kesusasteraan.
12. Evolusionisme
Akibat perkembangan aliran
positivisme, maka lahirlah aliran “evolusionisme”
dengan tokoh yang paling terkenal adalah Charles Darwin (1809-1828) dan Herbert
Spencer (1820-1903). Darwin mengajarkan teori perkembangan (evolusi) bagi segala sesuatu, termasuk
manusia. Manusia menurutnya merupakan perkembangan tertinggi dari taraf hidup
yang paling rendah, yaitu alam, yang juga diatur oleh hukum-hukum mekanik.
Hukum survival of the fittest
(kelangsungan hidup yang terkuat) dan struggle
for live (perjuangan hidup untuk bertahan hidup) dari tumbuh-tunbuhan dab
hewan berlaku pula bagi manusia, dan hal itu merupakan hukum tertinggi bagi
manusia. Karena itulah Darwin sampai memandang bahwa manusia itu tidak berbeda
dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan serta dengan benda apapun. Akibatnya, akan ada
suatu predikat yang muncul dari teori perkembangan ini, yaitu kemungkinan di
kemudian hari akan muncul manusia yang lebih sempurna dari manusia yang ada
sekarang. Karena itu ditinjau dari segi filsafat, pada pokoknya teori ini tidak
berbeda dengan pandangan positivisme mengenai pendapatnya tentang ilmu
pengetahuan. Manusia tidaklah tahu tentang hal-hal yang mengatasi pengalaman,
karena itu yang sungguh-sungguh ada yaitu yang dialami, sedangkan yang lain bukanlah
kesungguhan disebut Darwinisme.
Lebih lanjut Herbert Spencer
memberikan kemajuan pada sistem filsafat manurut evolusionisme Ia berpendapat
bahwa yang dapat dikenal adalah yang
menjadi bukan yang ada. Ilmu
merupakan sebagian dari pengetahuan “yang menjadi” tersebut. Ilmu mempunyai
pangkalnya pada beberapa kebenaran apriori : ketidakmusnahan bahan, kehendak
gerak dan pertahanan kekuatan. Proses dunia ini tiada lain merupajan
berkumpulnya kembali gerak dan bahan. Karena itu evolusi adalah peralihan hubungan
yang lebih erat (integral) dalam baahan, yang dengan sendirinya disertai oleh
perluasan gerak. Jadi, hidup adalah peralihan dari bahan mati. Evolusi
memberikan keterangan tentang hubungan yang ada di antara gejala-gejala. Akan
tetapi evolusi tidak memberi keterangan terakhir tentang adanya gejala-gejala
itu.
13. Materialisme
Positivisme dan evolusionisme pada
prinsipnya mengingkari jiwa, hidup dan mati manusia itu tidak berbeda,
sebagaimana evolusionisme gerak atau perkembangan menghasilkan sesuatu dengan
sendirinya. Dari keterangan bahwa semua gerak dan perkembangan tidak ada yang
menyebabkan, maka aliran ini disebut materialisme.
Materialisme berpendirian bahwa pada hakikatnya segala seautu adalah bahan
belaka. Pandangan ini menemukan kejayaannya pada abad ke 19 dan di Eropa sangat
terasa pengaruhnya, misalnya di Prancis yang dipelopori oleh Lamettrie
(1709-1751). Menurut Lamettrie manusia adalah mesin belaka dan sama dengan
benatang. Prinsip hidup pada umumnya diingkari dengan menunjukkan bukti bahwa
“tanpa jiwa badan dapat hidup”, tetapi jiwa tanpa badan tidak dapat hidup.
Contohnya jantung katak yang dikeluarkan dari tubuhnya masih dapat berdenyut
beberap detik, namun sebaliknya tidak mungkin ada katak tanpa badan.
Materialisme ini meluas sampai ke Jerman dengan tokoh-tokohnya yang terkenal
Feuebach (1804-1872), Buchner dan Molenschot
Menurut Feuebach alam adalah
satu-satunya realitas, sehingga dikatakan bahwa manusia pun benda-benda alam.
Pengetahuan memperoleh sumbernya pada pengalaman. Tujuan hidup diarahkan pada
alam ini, dan apa yang ada di luar alam ditolak. Kebahagiaan terletak pada
kepuasan hidup alamiah. Kesusilaan hanyalah sebagai usaha untuk mencapai
kebahagiaan alamiah tersebut. Namun demikian, kebahagiaan tidak berdasar pada
egoisme melainkan pada sosialitas. Susila adalah suatu tindakan yang tearah
menuju kebahagiaan bersama. Hubungan aku dan kau merupakan inti kemanusiaan,
maka kebahagiaanku adalah kebahagiaanmu dalam arti milik bersama. Jadi dasar
kebahagiaan adalah pengalaman sedangkan dasar kesusilaan sebagai alat untuk
mencpai kebahagia-an juga dari pengalaman. Dari pengalaman kita tahu bahwa
usaha mencari kebahagiaan itu harus mengindahkan kebahagiaan orang lain.
Meskipun Feuebach menitikberatkan pada alam sebagai terminologi, akan tetapi
dia adalah seorang materialis yang menghargai dan mengakui hidup bahkan baginya
hidup adalah dasar yang utama, namun hidup yang berada dalam alam belaka.
Tokoh materialisme yang lain adalah
Karl Marx (1818-1883) dengan paham yang lebih runcing dan ekstrim. Dia
terpengaruh oleh Hegel dan Feuebach. Dari Hegel diterima ajaran dialektika dan
pendapat lain tentang hubungan rapat antara filsafat, sejarah dan masyarakat.
Dari Feuerbach diterima ajaran tentang kecenderungan terhadap keruhanian yang
dapat dikembalikan pada jasmani dan pengarahan minat kepada manusia yang hidup
di dalam masyarakat. Marx menghubungkan rapat-rapat antara filsafat dan
ekonomi. Yang terutama baginya adalah bertindak,
bukan hanya kehendak dan tahu saja. Sedangkan tugas akhir bagi ahli pikir
adalah mengubah dunia, bukan menerangkan tentang dunia.
Dikatakan selanjutnya bahwa hidup
manusia ditentukan oleh keadaan-keadaan ekonomi. Segala hasil tindakannya
(ilmu, seni, agama, kesusilaan, hukum dan politik) merupakan endapan dari keadaan ekonomi, dan keadaan ekonomi itu
sendiri ditentukan sepenuhnya oleh sejarah. Masyarakat pada mulanya tidak
mengenal pertentangan-pertentangan dalam tingakatannya, kemudian oleh karena
adanya keahlian dalam pekerjaan dan
karena adanya milik maka muncullah
tingkatan atau kelas dalam masyarakat. Karena itu lahirlah golongan berada dan golongan miskin yang masing-masing disebut sebagai golongan kapitalis dan golongan proletariat. Kadua golongan ini selalu
bertentangan dan semakin besar juga pengaruhnya, sehingga meletuslah revolusi.
Kaum proletar kemudian mengambil alih kekuasaan dari kaum kapitalis. Bila
demikian, makamuncullah suatu masyarakat tanpa kelas yang berarti kepemilikan
ada pada masyarakat atau negara. Dan negara itu tidak nasional melainkan
internasional dan inilah akhir sejarah.
Adapun manusia, kata Marx,
ditentukan oleh alam di atas kodratnya yang dipandang dari sudut
kemasyarakatannya. Jadi manusia individu tidak bermakna, dan dianggap manusia
sejauh ia bermasyarkat. Selanjutnya masyarakat itu harus berkembang, dan
perkembangannya itu disebut sejarah.
Perkembangan sejarah harus didorong oleh kekuatan-kekuatan untuk menghasilkan.
Jadi ada identitas antara perkembangan masyarakat dengan perkembangan materi.
Ditambahkan bahwa yang nyata dari perkembangan masyarakat adalah dorongan untuk
hidup, yaitu makan, minum, pakaian dan lain-lain yang hal ini diusahakan oleh
manusia sendiri. Dan untuk mengusahakannya diperlukan alat-alat yang kesemuanya
adalah materi belaka, sementara yang diusahakan juga materi. Karena itulah
keseluruhan perkembangan ditentukan oleh materi. Paham ini selanjutnya disebut materialisme historis.
Lain daripada itu, untuk mewujudkan
cita-cita maka golongan tak bermilik haruslah menghapus kaum bermilik
(kapitalis yang merupakan lawan). Menurut analisis Marx, satu-satunya senjata
kaum kapitalis adalah agama yang oleh dia dianggap sebagai racun bagi rakyat. Oleh karena itu agama harus dihapus, sebab hal
itu tidak berguna sama sekali bagi kaum proletar dan tidak perlu ada kebahagiaan
di kemudian hari. Proletariat tidak beragama tapi berfilsafat, dengan filsafat
dialektik dan berpolitik dengan partai komunis, sedangkan isi ilmu, seni dan
kesusilaan ditentukan oleh kaum miskin.
Meskipun tampak dalam sejarah bahwa
materialisme mempunyai pengaruh yang besar, namun pada saat itu pula ada
perlawanan yang hebat dari aliran idealisme yang juga besar pengaruhnya.
Gerakan idealisme ini menganjurkan ajaran Kant agar para filsuf kembali kepada
filsafat. Gerakan ini didukung oleh murid-murid Kant dan dinamakan “Neo-Kantianisme” dengan tokohnya antara
lain H. Cohen dan Paul Natorp (1854-1924) yang keduanya termasuk penganut
aliran Marburg.
gala sesuatu itu cukup bagi dirinya
sendiri.
[7][7] Kata “sofis” mengandung arti tipuan,
hipokret dan sinis. Selanjutnya baca Ahmad Tafsir, ibid, hal. 50 - 51
[10][10] Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat
Pengetahaun Islam, UI Press, Jakarta, 1983, hal. 4 - 7
[19][19] Baca Louis O. Kattsoff, Pengantar
Filsafat, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, Cet. ke 7 1996 : 302 dan
seterusnya
No comments:
Post a Comment